Menanti Ketegasan Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden
Pemilu 2019:

Menanti Ketegasan Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden

Sebaiknya MK jangan terburu-buru memutuskan pengujian UU Pemilu ini hanya karena tekanan publik. Kalaupun uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden dimaknai nol persen sebaiknya tidak dipaksakan berlaku dalam Pemilu 2019, tetapi pemilu berikutnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dia menganggap penggunaan hasil Pemilu Legislatif sebelumnya untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres akan merusak logika sistem presidensial. Sebab, dalam sistem presidensial mandat rakyat diberikan secara terpisah, masing-masing kepada legislatif dan eksekutif. Sementara jika menggunakan hasil pemilu legislatif untuk menentukan ambang batas di eksekutif bentuk pemerintahan yang memiliki sistem parlementer. 

 

“Artinya, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif jelas memaksakan logika dari sistem parlementer ke presidensial,” terang dia.

 

Hakim Kontitusi Saldi Isra berpendapat penetapan ambang batas ini juga tak memberi kepastian bagi parpol peserta pemilu. Sebab, tak ada jaminan bagi parpol peserta Pemilu 2019 yang berasal dari parpol peserta Pemilu 2014 dapat memiliki jumlah kursi atau suara sah yang sama dengan hasil Pemilu 2014. “Argumentasi (ambang batas 20 persen) sulit dipertahankan karena dinamika politik dari pemilu ke pemilu berikutnya sangat mungkin berubah secara drastis,” dalihnya.

 

Ketentuan presidential threshold sebenarnya sudah menjadi perbebatan sejak awal pengesahan RUU Pemilu di DPR pada 2017 lalu. Saat Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Setya Novanto, pengesahan aturan tersebut diwarnai aksi walk out sejumlah partai seperti PKS, Gerindra, Demokrat dan PAN. Aksi tersebut sebagai bentuk pernyataan tidak setuju dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Sementara, partai yang mendukung aturan ambang batas tersebut menilai penetapan minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara sah parpol dalam Pemilu 2014 itu sudah sesuai konstitusi. (Baca Juga: Resmi Jadi UU Pemilu, Ambang Batas Pencalonan Presiden Digugat ke MK)

 

Selain itu, pasal ambang batas pencalonan presiden sebenarnya bukan hal baru karena sebelumnya telah diatur Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Hanya saja, ada perbedaan redaksional dengan Pasal 222 UU Pemilu yang mengacu pada hasil pemilu sebelumnya. Ini disebabkan adanya putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali yang memutus bahwa Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak dengan cara menyatukan antara pemilu legislatif dan pilpres (pemilu lima kotak).   

 

Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.  

Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

 

Ambang batas nol persen

Effendi Gazali menilai seharusnya implementasi aturan ambang batas pencalonan presiden dimaknai nol persen dalam Pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak. Karena itu, tahun lalu dan tahun 2018 ini dirinya kembali mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu. “Di negara manapun kalau pemilu serentak, ambang batasnya nol persen. Namun, apa daya MK sudah menafsirkan ambang batas pencalonan presiden sebagai open legal policy,” kata Effendi saat dihubungi Kamis, (2/8/2018).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait