Menanti Industri Fintech Lebih Ramah Konsumen
Utama

Menanti Industri Fintech Lebih Ramah Konsumen

Industri fintech dianggap masih belum memberi keamanan bagi konsumen.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Lalu, perusahaan fintech juga merapkan prinsip keadilan dalam pelayanan kepada konsumen. “Enggak boleh abuse. Fair enough. Enggak boleh kayak rentenir,” jelasnya.

 

Sehubungan dengan maraknya fintech ilegal, Wimboh mengimbau agar masyarakat menggunakan layanan yang legal atau terdaftar di OJK. Sebab, pengawasan fintech ilegal berada di luar domain OJK.

 

Kelemahan industri fintech ini juga disoroti Ketua OJK Watch, Ahmad Djauhar. Dia menilai data pribadi pada industri fintech rentan bocor. Padahal, dibandingkan negara lain, keamanan data pribadi merupakan isu sensitif. “Ada kelemahan di teknologi sehingga data pribadi bocor. Kalau di AS data pribadi bocor adalah kasus luar biasa. Hasil pengamatan saya di berbagai daerah-daerah fenomena (pelanggaran) ini ada,” jelasnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko menyatakan saat ini terdapat celah hukum dalam penindakkan fintech. Menurutnya, pemerintah bersama DPR perlu segera menyusun beberapa UU seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU Fintech dan UU Trusty.

 

Sunu menjelaskan tanpa UU Fintech maka akan sulit menetapkan sanksi pidana bagi fintech ilegal. Sebab, melalui UU ITE para korban dianggap lebih menahan diri daripada melaporkannya kepada kepolisian. “Kalau UU ITE itu pakai delik aduan, korban kalau sudah berhadapan dengan kepolisian cenderung tidak jadi,” jelas Sunu.

 

Dari sisi asosiasi, Sunu menjelaskan pihaknya mewajibkan sertifikasi kepada penagih agar dapat bekerja sesuai dengan ketentuan berlaku. Selain itu, asosiasi juga mengharuskan sertifikasi tersebut kepada direksi, komisaris dan pemegang saham dari perusahaan fintech.

 

“Hal ini untuk memastikan semua pihak harus paham bahwa berusaha di Indonesia ada etikanya,” pungkasnya. 

 

Tags:

Berita Terkait