Menanti Industri Fintech Lebih Ramah Konsumen
Utama

Menanti Industri Fintech Lebih Ramah Konsumen

Industri fintech dianggap masih belum memberi keamanan bagi konsumen.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Penggunaan layanan pinjaman online atau financial technology peer to peer (P2P) lending semakin meningkat saat ini. Hal tersebut terlihat dari semakin jumlah penyaluran dana hingga 700 persen pada tahun lalu serta jumlah perusahaan fintech yang terus bertambah mulai investor lokal hingga asing. Namun, seiring masifnya penggunaan layanan fintech tersebut ternyata ada risiko yang harus diwaspadai konsumen seperti kebocoran data pribadi, tingginya suku bunga dan penagihan intimidatif.

 

Ketua Dewan Komosioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso menyatakan perkembangan fintech ini tidak dapat ditahan. Sehingga, dia menyatakan tantangan untuk mempersiapkan regulasi yang dapat mendukung perkembangan industri sekaligus memberi perlindungan konsumen. Menurutnya, karakter industri fintech yang memungkinkan setiap transaksi dapat dilakukan tanpa tatap muka menyebabkan perlu pengaturan khusus dibandingkan jasa keuangan lainnya.

 

“Undang-undang dahulu tidak bisa memperkirakan perubahan jasa keuangan bisa secepat ini. Sekarang, orang dapat meminjam uang tanpa perlu ada batasan umur, kepemilikan KTP maupun lokasinya bisa di mana saja,” jelas Wimboh dalam acara seminar “Mencari Format Fintech yang Ramah Konsumen” di Gedung Bursa Efek Indonesia, Selasa (16/7).

 

Dia menjelaskan kemunculan fintech ini merupakan kebutuhan bagi masyarakat dalam alternatif mencari pendanaan. Menurutnya, sebagian besar kelompok masyarakat tidak terlayani jasa keuangan konvensional seperti bank. Fintech menawarkan kemudahan dan kecepatan pemerolehan dana kepada masyarakat.

 

“Kami melihat ini sebagai peluang sebab masyarakat merasa kehadiran fintech bermanfaat. Yang perlu dijaga adalah bagaimana ekosistem ini saling menguntungkan,” jelas Wimboh.

 

Atas kondisi tersebut, dia menambahkan pihaknya memberi aturan pada fintech secara fleksibel. Salah satu caranya yaitu melibatkan asosiasi fintech mengatur sendiri atau self regulatory organization dengan menerbitkan kode perilaku. Selain itu, OJK juga menetapkan secara umum untuk industri fintech melalui penerbitan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi.

 

(Baca: Marak Praktik Ilegal, Perlukah UU Khusus Mengatur Fintech?)

 

Wimboh menambahkan perusahaan fintech harus mengedepankan prinsip transparansi dengan menjelaskan profil perusahaan. Perusahaan fintech juga harus menyusun rancangan jangka panjang agar bisnis tersebut dapat berkesinambungan.

 

Lalu, perusahaan fintech juga merapkan prinsip keadilan dalam pelayanan kepada konsumen. “Enggak boleh abuse. Fair enough. Enggak boleh kayak rentenir,” jelasnya.

 

Sehubungan dengan maraknya fintech ilegal, Wimboh mengimbau agar masyarakat menggunakan layanan yang legal atau terdaftar di OJK. Sebab, pengawasan fintech ilegal berada di luar domain OJK.

 

Kelemahan industri fintech ini juga disoroti Ketua OJK Watch, Ahmad Djauhar. Dia menilai data pribadi pada industri fintech rentan bocor. Padahal, dibandingkan negara lain, keamanan data pribadi merupakan isu sensitif. “Ada kelemahan di teknologi sehingga data pribadi bocor. Kalau di AS data pribadi bocor adalah kasus luar biasa. Hasil pengamatan saya di berbagai daerah-daerah fenomena (pelanggaran) ini ada,” jelasnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko menyatakan saat ini terdapat celah hukum dalam penindakkan fintech. Menurutnya, pemerintah bersama DPR perlu segera menyusun beberapa UU seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU Fintech dan UU Trusty.

 

Sunu menjelaskan tanpa UU Fintech maka akan sulit menetapkan sanksi pidana bagi fintech ilegal. Sebab, melalui UU ITE para korban dianggap lebih menahan diri daripada melaporkannya kepada kepolisian. “Kalau UU ITE itu pakai delik aduan, korban kalau sudah berhadapan dengan kepolisian cenderung tidak jadi,” jelas Sunu.

 

Dari sisi asosiasi, Sunu menjelaskan pihaknya mewajibkan sertifikasi kepada penagih agar dapat bekerja sesuai dengan ketentuan berlaku. Selain itu, asosiasi juga mengharuskan sertifikasi tersebut kepada direksi, komisaris dan pemegang saham dari perusahaan fintech.

 

“Hal ini untuk memastikan semua pihak harus paham bahwa berusaha di Indonesia ada etikanya,” pungkasnya. 

 

Tags:

Berita Terkait