Menanti Arah Putusan MK Pengujian UU Cipta Kerja
Terbaru

Menanti Arah Putusan MK Pengujian UU Cipta Kerja

Dalam proses persidangan yang berlangsung di MK koalisi menilai pemerintah dan DPR tidak bisa membuktikan hal ihwal kegentingan memaksa untuk menerbitkan Perppu Cipta kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Peneliti Senior Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menambahkan, tak ada kebutuhan UU baru bagi pemerintah. Sebab UU Cipta Kerja tetap dijalankan setelah MK memutus pengujian uji formil UU 11/2020. Pelaksanaan UU Cipta Kerja berdampak terhadap tata kelola hutan yang makin buruk.

“Melemahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan serta meningkatkan intensitas bencana dan perusakan lingkungan,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, menyebut UU 6/2023 meninggalkan warisan buruk. Walhasil memperparah ketimpangan agraria, konflik agraria, dan bertentangan dengan reforma agraria sejati. Misalnya UU 6/2023 memandatkan pembentukan Bank Tanah, yang praktiknya merampas tanah masyarakat dan tanah yang direncanakan untuk diredistribusi kepada petani.

“Operasi Bank Tanah di IKN dapat memberikan hak atas tanah nyaris 2 abad (180 tahun), hal itu lebih buruk dari kebijakan kolonial Belanda,” tegasnya.

Tujuh hal

Dampak terbitnya UU 11/2020 hingga UU 6/2023 dirasakan juga kalangan pekerja/buruh. Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno, menilai pemerintah tetap menjalankan UU 11/2020 kendati MK telah menerbitkan putusan 91/PUU-XVIII/2020. Hal itu memberi dampak buruk bagi pekerja/buruh misalnya terkait status hubungan kerja dan pengupahan yang merugikan buruh.

“UU Cipta Kerja memperburuk situasi perburuhan di Indonesia,” imbuhnya.

Direktur Indonesia Global for Justice (IGJ) Rachmat Maulana, berpendapat sejak awal masyarakat sipil menyadari terbitnya UU Cipta Kerja sangat dipaksakan. Menurutnya beleid itu merupakan respon pemerintah terhadap organisasi perdagangan bebas dunia (WTO) yang meminta Indonesia mengubah sejumlah UU terkait pangan, pertanian, dan peternakan. “Bukan karena krisis ekonomi global,” paparnya.

Kesimpulan yang disampaikan koalisi kepada MK dalam persidangan meliputi 7 hal. Pertama, pemerintah dan DPR melanggar UUD 1945, putusan MK No.138/PUU-VII/2009 dan 91/PUU-XVIII/2020. Kedua, dengan menetapkan Perppu 2/2022 tanpa memenuhi prinsip, syarat/ketentuan dan tahapan pembentukan Perpu, Pemerintah telah melakukan praktik authoritarian legalism.

Tags:

Berita Terkait