Mempersoalkan Predikat Badan Peradilan Bagi Korps Adhyaksa dalam Revisi UU Kejaksaan
Utama

Mempersoalkan Predikat Badan Peradilan Bagi Korps Adhyaksa dalam Revisi UU Kejaksaan

Harus ada revisi juga terhadap UU lain sebagai badan peradilan karena disebut dalam penjelasan pasal yang sama dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit

Kemudian terkait ketentuan Pasal 30A ayat (1) RUU Kejaksaan yang mengatur wewenang dan tugas Kejaksaan untuk turut serta dan aktif dalam proses pencari kebenaran dan rekonsiliasi atas perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan konflik sosial tertentu.

Menurut Pretty, pasal ini jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Acara Pengadilan HAM Berat yang diatur dalam UU 26/2000, di mana Jaksa Agung dinyatakan sebagai Penyidik dan Penuntut Umum perkara pelanggaran HAM berat. Selain itu, Pasal 47 UU 26/2000 telah mengatur bahwasanya penyelesaian di luar Pengadilan HAM (non-yudisial) dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan satu UU tersendiri.

Apabila Kejaksaan memiliki dua peran campur aduk sebagai penegak hukum dalam Pengadilan HAM Berat sekaligus pengusaha rekonsiliasi agar penyelesaian dilakukan di luar sidang tentu terdapat kontradiksi. Bukannya sibuk mencari bukti, Kejaksaan dapat sibuk berkompromi dan melanggengkan impunitas. Hal ini bertentangan dengan tanggung jawab pemerintah dalam Pasal 28I ayat (4) UUD untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM.

Menurut Pretty, rekonsiliasi tanpa proses pengadilan sama saja dengan impunitas. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007 sangat jelas, bahwa yang menentukan terjadi/tidak terjadinya pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik. Kejaksaan menjadi pelaksana asas pengharapan yang diberikan oleh negara kepada korban/keluarga korban pelanggaran HAM berat.

Pengharapan dari negara itu berupa UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI, yaitu UU 39/1999 tentang Pengadilan HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM sebagaimana mandat UUD 1945 ayat (5) yang berbunyi: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

Karena itu dirinya menyebutkan pengaturan wewenang Kejaksaan yang berlebih dan melampaui fungsi sebagai penegak hukum harus dihapuskan karena bertentangan dengan UU lain dan Konstitusi.

Penyadapan

Selanjutnya, Pretty menyebut ketentuan Pasal 30 ayat (5) RUU Kejaksaan yang mengatur wewenang dan tugas Kejaksaan di Bidang Ketertiban dan Ketenteraman Umum yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang salah satunya pada huruf G menyebutkan penyadapan dan menyelengarakan pusat monitoring.

Tags:

Berita Terkait