Mempersoalkan Jerat Hukum Penyebaran Hoaks di Kasus Ratna Sarumpaet
Berita

Mempersoalkan Jerat Hukum Penyebaran Hoaks di Kasus Ratna Sarumpaet

Pasal yang paling mungkin menjerat RS melalui sangkaan Pasal 14 KUHP, tetapi itupun harus dapat dibuktikan korelasi tindakannya itu dengan keonaran yang timbul di kalangan rakyat. Sedangkan, pasal-pasal dalam UU ITE tidak dapat diterapkan dalam kasus RS.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, pasal yang paling mungkin untuk menjerat RS melalui sangkaan Pasal 14 KUHP, tetapi itupun harus dapat dibuktikan korelasi tindakannya itu dengan keonaran yang timbul di kalangan rakyat. “Pengamatan saya belum ada aturan lain. Terlalu berlebihan kalau hanya berita bohong pendekatannya dipidana,” kata dia.

 

Selain itu, dalam pembuktian perlu ada kesadaran dan pengetahuan RS bahwa kabar yang disampaikan kepada pasangan calon presiden itu akan menimbulkan keonaran. “Namun, tidak bisa, jika tidak disadarinya berakibat keonaran, artinya tidak ada tindakan langsung RS yang sengaja ditunjukan untuk terjadinya keonaran di masyarakat,” jelasnya.

 

Bagi Fickar, kasus RS seharusnya tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Sekarang ini seolah semua urusan dapat diselesaikan di kantor polisi dan berakhir dipenjara. Seharusnnya, kata dia, akibat perbuatan RS, kariernya secara politik dan etika moralnya sudah mati (habis). “Memang harusnya cukup sampai disitu saja proporsi kasus ini (tidak perlu diproses polisi, cukup matinya karier perpolitikan dan etika moral Ratna, red).”  

 

“Tidak ada urusan ke penjara, kecuali kebohongannya nyata menyerang harkat dan martabat orang lain,” kata dia.

 

Harus timbul akibat

Staf Pengajar STHI Jentera, Miko Ginting, berpendapat kasus ini masuk dalam delik penyebaran berita bohong, menyesatkan, dan tidak lengkap. Tapi perlu diingat, perbuatan ini harus menimbulkan akibat terjadinya keonaran. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946. “Yang menentukan terjadi keonaran atau tidak itu penuntut umum di persidangan dan diputus hakim,” ujarnya.

 

Miko mengkritik UU No.1 Tahun 1946 yang sangat longgar karena tidak memuat unsur kesengajaan. Akibatnya bisa berdampak buruk terhadap kebebasan berekspresi. Yang terpenting dilakukan aparat yakni menyeimbangkan upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan kebebasan berekspresi.

 

Dia menilai delik yang diatur Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 sifatnya materil yakni harus ada akibatnya. Polisi bisa memproses kasus ini tanpa adanya laporan dari masyarakat. “Tapi penting untuk dicatat, delik ini bermasalah karena bisa menjerat banyak kalangan termasuk jurnalis,” kata dia.

 

Miko juga mengkritik upaya paksa yang dilakukan kepolisian dalam menangani kasus ini. Miko mencermati sejumlah upaya paksa yang dilakukan aparat seperti penggeledahan di RS, mengambil buku register, rekaman CCTV, dan membuka rekening untuk melihat data transaksi. Menurutnya upaya paksa ini tidak dapat dilakukan dalam proses penyelidikan. “Ini peristiwa pidana belum ditemukan, tapi upaya paksa sudah dilakukan."

Tags:

Berita Terkait