Membongkar Kasus Gayus, Momentum Penataan Sistim Perpajakan
Fokus

Membongkar Kasus Gayus, Momentum Penataan Sistim Perpajakan

Pengawasan terhadap Pengadilan Pajak harus diperketat. Kalau perlu segera dialihkan ke Mahkamah Agung. Ada usulan agar Ditjen Pajak dipisah dari Kementerian Keuangan.

Mys/M-7
Bacaan 2 Menit

 

Selain persoalan itu, muncul gagasan untuk segera memasukkan Pengadilan Pajak ke bawah Mahkamah Agung. Konsep penyatuan atap pengadilan yang diterapkan MA sejak 2004 sebenarnya mengandung konsekuensi tak boleh ada pengadilan di luar rumah Mahkamah Agung. Ironisnya, Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tetap menempatkan Pengadilan Pajak di bawah Departemen/Kementerian Keuangan.

 

Untuk mengurangi kongkalikong di Pengadilan Pajak, Darussalam mengusulkan penerapan transparansi putusan. “Putusan-putusan Pengadilan Pajak harus dipublikasikan,” ujar pengamat perpajakan yang juga dosen Universitas Indonesia ini. Masyarakat, kata Darussalam, seharusnya bisa mengakses setiap putusan, sehingga ada eksaminasi dari publik. Lingkungan peradilan di bawah MA sudah menerapkan kebijakan itu secara perlahan sejak terbitnya SK Ketua MA No. 144 Tahun 2007.

 

Harry pun menyambut baik usulan Darussalam. Bahkan Harry berjanji mendesak Pemerintah untuk segera merevisi UU Pengadilan Pajak. Usulan revisi itu sudah dilontarkan DPR sejak 2007. Dalam revisi inilah nanti dimuat kewajiban mempublikasikan putusan sebagaimana halnya Mahkamah Agung.

 

Regulasi

Revisi UU Pengadilan Pajak merupakan bagian dari upaya menata peraturan payung hukum perpajakan. Sebelumnya, Pemerintah dan DPR sudah menyepakati sejumlah payung hukum perpajakan. Misalnya, Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Penataan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009), dan Ketentuan Umum Perpajakan (UU No. 28 Tahun 2007) juga sudah dilakukan.

 

Menurut Darrusalam, penataan regulasi perpajakan harus memperhatikan rambu-rambu tentang hal apa saja yang bisa didelegasikan dan apa yang tidak. Ia membandingkan, di sejumlah negara ketentuan siapa yang bisa membayar pajak, objek apa yang bisa dikenakan pajak, dan bagimana tarif serta dasar pengenaan pajak harus diatur dalam Undang-Undang. Di Indonesia, pengaturan sejumlah tarif dan objek pajak diberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut. “Ini sebenarnya tidak boleh, karena pajak itu adalah kesepakatan antara warga negara dan negara. Jadi warga negara untuk dikenakan pajak, maka pemerintah perlu meminta persetujuan kepada DPR, sebagai wakil rakyat”, tutur Darussalam. Dalam konteks tersebutlah, lanjut Darussalam muncul istilah “no taxation without representation”.

 

Asosiasi Konsultan Pajak

Satu lagi institusi terkait yang perlu direformasi adalah Asosiasi Konsultan Pajak (AKP). Menurut Darussalam, selama ini menyangkut izin AKP berada di bawah Ditjen Pajak. Praktik ini dinilai tidak lazim. AKP seharusnya bersifat independen. Sifat independensi itu harus dituangkan dalam payung hukum. “Jadi, tidak setengah-setengah mereformasinya, seluruhnya direformasi”, tandas Darussalam.

 

Harry Azhar Azis sependapat. Politisi Partai Golkar ini mengusulkan agar revisi UU Pengadilan Pajak memuat aturan tentang konsultan pajak. Pejabat-pejabat pajak bahkan hakim pajak juga akan diatur untuk tidak melakukan rangkap jabatan sebagai konsultan pajak.

Tags:

Berita Terkait