Membidik Tanggung Jawab Hukum Pemerintah
Tragedi Situ Gintung:

Membidik Tanggung Jawab Hukum Pemerintah

Jika terbukti lalai, pemerintah dan pengelola Situ Gintung bisa dimintai tanggung jawab secara pidana. Secara perdata, masyarakat korban bisa mengajukan class action.

IHW
Bacaan 2 Menit
Membidik Tanggung Jawab Hukum Pemerintah
Hukumonline

 

Pada Jumat (27/3) dini hari, danau itu tak mampu menahan muatannya. Ia ‘memuntahkan' jutaan kubik air dan lumpur yang menyapu bersih ratusan rumah yang dilaluinya. Pemerintah dan masyarakat pun sigap memberi bantuan kepada korban.

 

Sayangnya, pemerintah –baik Gubernur Banten, Menteri Pekerjaan Umum dan pejabat lainnya- buru-buru ‘cuci tangan' atas tragedi ini. Mereka menjadikan faktor cuaca seperti lebatnya hujan yang mengguyur kawasan Situ Gintung semalam sebelumnya dan faktor ‘usia' danau sebagai kambing hitam. Gubernur Banten Ratu Atut Choisiah menuding Departemen Pekerjaan Umum sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Belakangan, pemerintah malah menyalahkan warga yang bermukim di sekitar danau.

 

Menyalahkan korban adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal ini adalah prinsip yang diakui secara internasional, kata Erwin Usman, juru kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kepada hukumonline, Sabtu (28/3). Selain itu, menyalahkan korban adalah bentuk pelepasan tanggung jawab.

 

Walhi sebenarnya berharap pemerintah, baik pusat maupun daerah, sigap dan tanggap mendengar keluhan warga dan mencermati perubahan bentang alam dan kondisi Situ Gintung. Beberapa warga mengaku kepada kami bahwa mereka sudah pernah mengadukan keretakan di beberapa sisi tanggul. Bahkan pada November 2008, bencana yang sama juga terjadi walau masih dalam skala kecil. Tapi tak pernah ditindaklanjuti, jelas Erwin.

 

Ketidakpekaan pemerintah dalam menanggapi laporan warga tentang rusaknya Situ Gintung, masih menurut Erwin, patut disesalkan. Bahkan Walhi pernah melihat langsung neraca (laporan, red) lingkungan yang dikeluarkan Badan Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Banten. Di situ tak dilaporkan bahwa Situ Gintung sudah dalam kondisi rusak.

 

Sebenarnya tak hanya Situ Gintung yang berada dalam status ‘rusak'. Berdasarkan hasil penelitiannya, Walhi mencatat hanya 19 dari 193 situ di Jabodetabek yang tercatat masih dalam kondisi baik. Sisanya, termasuk Situ Gintung telah mengalami pendangkalan, pengalihan fungsi menjadi kawasan restoran, wisata dan pemukiman.

 

Pertanggungjawaban Hukum

Secara normatif, pengelolaan Situ Gintung sebagai salah satu sumber air sudah sangat jelas diatur dalam UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 (UU SDA) dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pasal 13 sampai Pasal 17 UU No 7/2004 misalnya yang menjelaskan mengenai tanggung jawab pemerintah -dari tingkat pusat sampai desa- dalam menetapkan dan menjalankan rencana pengelolaan sumber daya air.

 

UU SDA bahkan memuat sanksi pidana berupa ancaman penjara paling lama 18 bulan dan denda paling banyak Rp300 juta bagi setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Hal ini diatur dalam Pasal 95 Ayat (1) huruf (a) UU SDA.

 

Pada huruf (b) dalam pasal dan ayat yang sama, ancaman pidana itu juga ditujukan pada setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.

 

Dihubungi terpisah, pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia Rudy Satriyo menyatakan adanya peluang untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah secara pidana. Menuntut secara pidana bisa saja. Harus dicari tahu siapa pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan rutin terhadap danau itu. Nantinya pihak itu bisa dimintai tanggung jawabnya secara pidana jika ia mengabaikan kewajibannya itu, kata Rudy lewat telepon, Senin (30/3).

 

Kalaupun jerat pidana dalam UU SDA tak ampuh dalam menjerat pihak yang bertanggung jawab, toh masih ada Pasal 359 KUHP sebagai ‘senjata pamungkas'. Rumusan Pasal 359 KUHP adalah barang siapa yang karena kealpaannya  menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun, kata Rudy.

 

Unsur barang siapa dalam Pasal 359 KUHP, lanjut Rudy, hanya merujuk pada orang. Bukan lembaga atau badan hukum korporasi. Artinya, siapa pun dia, baik petugas lapangan atau atasannya bisa diancam dengan ketentuan ini.

 

Bahkan, masih menurut Rudy, tak tertutup kemungkinan adanya tindak pidana lain seperti dugaan korupsi dalam perkara Situ Gintung ini. Bisa dilakukan audit terlebih dahulu apakah ada dana perawatan danau yang bocor atau tidak. Kalau ada, patut diduga telah terjadi korupsi juga dalam kasus ini.

 

Pandangan senada datang dari M. Maulana Bungaran, advokat dari Serikat Pengacara Rakyat. Menurutnya kepolisian harus segera melakukan penyelidikan untuk menemukan ada tidaknya tindak pidana dalam bencana ini.

 

Class Action

Sumber daya air di satu sisi sangat menguntungkan kehidupan manusia. Tapi jika tak dikelola dengan baik, daya rusak air pun amat luar biasa. Pembuat UU SDA paham betul kondisi ini. Bahkan pemerintah harus membuat bab tersendiri mengenai ‘Pengendalian Daya Rusak Air' dalam PP No 42/2008 tentang Pengelolaan SDA.

 

Pasal 85 Ayat (1) PP 42/2008 itu membagi pengendalian daya rusak air ke dalam tiga bagian. Pertama, pencegahan sebelum terjadi bencana. Kedua penanggulangan pada saat terjadi bencana. Terakhir, pemulihan akibat bencana.

 

Penanggulangan sebelum bencana dapat berbentuk, penetapan kawasan rawan bencana dan penetapan sistem peringatan dini. Sayangnya UU SDA dan PP 42 tak menyebutkan secara jelas dua jenis penanggulangan sebelum bencana ini tanggung jawab siapa? Padahal kalau ada sistem peringatan dini, korban jiwa maupun harta bisa diminimalisir, kata Erwin.

 

Erwin tak asal cuap. Dalam Pasal 85 Ayat (3) PP 42/2008, pemerintah –baik pusat atau daerah- hanya berani mengambil tanggung jawab dan berwenang ketika terjadi bencana dan pemulihan akibat bencana. Mungkin pemerintah lebih sibuk mengurus pengalihan fungsi kawasan SDA ketimbang mencegah terjadinya bencana. Dimana faktanya alih fungsi kawasan SDA menjadi restoran, hotel atau pemukiman itu banyak yang tidak jelas Amdal-nya.

 

Setelah lewat masa evakuasi korban, Walhi mengaku siap mengajukan tuntutan hukum. Jika Walhi mengajukan gugatan, pilihan class action atau gugatan perwakilan kelompok masyarakat korban tentunya akan menjadi prioritas. Tentunya Walhi hanya mendampingi masyarakat saja. Kalau itu jadi dilakukan, kami akan belajar dari kasus class action Mandalawangi, tegas Erwin.

 

Gugatan masyarakat yang merasa dirugikan akibat pengelolaan sumber daya air bukan barang haram dalam UU SDA. Pasal 90 memberikan hak itu kepada masyarakat. Tak hanya itu. LSM atau organisasi yang bergerak di bidang SDA juga dibolehkan mengajukan gugatan yang lazim disebut dengan legal standing.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, Walhi pernah beberapa kali mengajukan legal standing dalam perkara lumpur Sidoarjo dan pencemaran di Teluk Buyat, Manado. Tapi kedua gugatan itu dimentahkan peradilan tingkat pertama. Saat ini kedua perkara itu sedang diperiksa oleh peradilan di tingkat atasnya.

 

Bicara gugatan class action warga akibat ‘bencana alam' tentunya tak bisa melupakan kasus gugatan warga Gunung Mandalawangi, Garut, Jawa Barat. Sekedar mengingatkan, kasus ini bermula ketika akhir Februari 2003, terjadi banjir dan tanah longsor yang mengakibatkan korban harta dan jiwa masyarakat Mandalawangi.

 

Kala itu, masyarakat yakin bahwa banjir dan longsor diakibatkan tindakan Perum Perhutani -selaku pengelola Hutan Gunung Mandalawangi- yang mengubah status hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Singkat kata, Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan class action. Perum Perhutani, Pemda Jawa Barat dan tergugat lainnya dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp30 miliar dengan perincian Rp10 miliar sebagai ganti rugi kepada masyarakat dan Rp20 miliar untuk memulihkan keadaan Gunung Mandalawangi. Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) hingga Mahkamah Agung. Sekedar catatan, Walhi adalah salah satu LSM yang mendampingi masyarakat kala itu.

Indonesia kembali menangis. Sebuah tragedi kembali terjadi di perbatasan Jakarta-Tangerang, Banten pada Jumat (27/3) yang merenggut hampir ratusan jiwa. Ratusan lainnya masih tak diketahui keberadaannya. Bersamaan dengan tragedi itu, nama ‘Situ Gintung' mendadak populer. Wajar. Tragedi itu memang terjadi di Situ Gintung.

 

Situ Gintung, adalah danau kecil buatan yang terletak di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Danau yang dibuat pada era penjajahan Belanda, tepatnya 1931-1932, ini awalnya diperuntukkan sebagai tempat penampungan air hujan dan pengairan wilayah pertanian di sekitarnya. Dengan luas awal 31 ha -kemudian menciut menjadi 21 ha pada 2008- Situ Gintung berubah fungsi menjadi kawasan wisata pada era 70-an.

Halaman Selanjutnya:
Tags: