Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak
Utama

Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak

Beragam persoalan yang muncul dalam penyelengaraan pemilu serentak perlu dievaluasi secara “radikal”. Adanya pengujian konstusionalitas “pemilu serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bisa menjadi bahan evaluasi bersama.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dosen Hukum Tata Negara STIH Jentera, Bivitri Susanti menilai pemilu serentak masih relevan diterapkan pada Pemilu Tahun 2024 mendatang. Menurutnya, sistem pemilu serentaknya bisa menggunakan model pemilu daerah terlebih dahulu, baru kemudian pemilu pusat.

 

Bivitri beda pendapat dengan Prof Susi terkait konsistensi putusan MK itu. Menurut Bivitri, Putusan MK Tahun 2014 telah konsisten dengan Putusan MK di Tahun 2008, bahkan sejak putusan MK Tahun 2005. Pendapat berbeda dalam Putusan MK Tahun 2008 tidak berarti dapat dimasukan dalam Putusan MK Tahun 2014, tetapi benar-benar pertimbangan putusan MK Tahun 2008 yang menjadi bahan pertimbangan dalam Putusan MK Tahun 2014.

 

Dia menerangkan jika dilihat keseluruhan dalam putusan MK Tahun 2014, MK telah menjelaskan lebih dulu putusannya di Tahun 2008 untuk memperjelas bahwa mereka sebenernya konsisten dalam memutus perkara di tahun 2008. Namun, dengan mempertimbangkan kondisi lain, MK tahun 2014 memiliki pertimbangan yang lain dan putusan yang berbeda dengan tahun 2008.  

 

Terkait persoalan Putusan MK Tahun 2014 yang tidak memberi waktu pelaksanaan pemilu serentak yang seperti apa dan hanya menyerahkan semuanya kepada kebijakan pemerintah, menurut Bivitri hal ini MK juga tidak salah. Sebab, MK hanya menjawab constitutional question yang hanya menjelaskan pasal tersebut konstitusional atau tidak. Untuk hal-hal teknis lain sejak tahun 2005 yakni Putusan MK No. 010/PUU-III/2005, hal ini merupakan open legal policy yang harus ditentukan oleh pembentuk UU.  

 

Perlu diperhatikan pula, kata Bivitri, aspek teknis manajemen pelaksanaan oleh KPU dalam menyelenggarakan pemilu itu sendiri agar tidak lagi terjadi dampak yang mengakibatkan korban jiwa. “Putusan MK terkait pemilu serentak bukan satu-satunya penyebab terjadinya banyak memakan jatuh korban, tetapi manajemen pelaksanaan pemilu oleh KPU yang perlu dievaluasi lebih baik lagi,” kata Bivitri kepada Hukumonline, Rabu (15/5/2019).

 

“Dalam rekrutmen petugas pemilu diperlukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu untuk menjadi petugas dalam pemilu mendatang. Hal ini untuk mengantisipasi kelelahan yang dapat memicu kematian,” katanya. (Baca Juga: Pemilu Serentak, Haruskah 'Dirombak' Total?)

 

Bukan yang diinginkan

Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali, salah satu pemohon Putusan MK No, 14/PUU-XI/2013, mengatakan Pemilu Serentak 2019, bukan pemilu serentak yang dia inginkan. Sebelum Pemilu 2019 terlaksana, Effendi telah meminta MK untuk membatalkan pemilu serentak setelah mengetahui hasil UU Pemilu di DPR tanggal 21 Juli 2017 yang kemudian menjadi UU No. 7 Tahun 2017 terutama masuknya aturan presidential threshold.  

Tags:

Berita Terkait