Membaca Pikiran Mardjono Reksodiputro, Sang Begawan Sistem Peradilan Pidana
Resensi

Membaca Pikiran Mardjono Reksodiputro, Sang Begawan Sistem Peradilan Pidana

Kompilasi pemikiran tentang Sistem Peradilan Pidana. Kajian pemikiran seorang pakar paripurna yang langka di Indonesia. Penting dibaca para peminat kajian hukum pidana, kriminologi, dan viktimologi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit

“Tentu saja ada kemungkinan bahwa suatu karangan telah dikejar oleh informasi dan pengetahuan baru,” kata Mardjono mengakui karyanya telah cukup tua. (hal.v).Persetujuannya menerbitkan ulang dalam satu kompilasi semata-mata keyakinannya untuk belajar secara paripurna, “Kita dapat dan harus belajar dari sejarah, maka tulisan-tulisan permasalahan lalu diharapkan dapat menambah wawasan pembacanya” (hal.v)

Ada lima bagian topik dalam buku Sistem Peradilan Pidana. Bagian pertama berjudul Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Ada 12 judul tulisan dalam bagian ini yang menunjukkan pemikiran progresif seorang Prof.Boy. Misalnya ia sudah memaparkan cybercrime dengan istilah saat itu ‘kejahatan komputer’ pada tahun 1987 (hal.3).

Mardjono bahkan mengusulkan pengaturannya masuk dalam Rancangan KUHP agar terintegrasi alih-alih terpisah dalam undang-undang tersendiri. Perlu dicatat bagaimana sebagai pakar hukum yang cenderung berpikir penuh pembatasan justru Mardjono menjaga agar hukum tak sampai menghambat kemajuan peradaban. Usulnya untuk mengatur ‘kejahatan komputer’ meminta agar dirumuskan secara “hemat” dengan jangkauan terbatas saja.

“Hal ini adalah untuk mencegah akibat-akibat sampingan (dalam sistem hukum dan sistem sosial-ekonomi) yang tidak dimaksudkan dan dapat mengganggu perkembangan industri komputer dan perkembangan teknologi komputer di Indonesia,” katanya dalam kesimpulan (hal.20). Kejahatan di bidang ekonomi dan dilakukan oleh korporasi juga tak luput dari kajian kritisnya di bagian ini.

Bagian kedua berjudul Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana mengajak pembaca menyelami pemikiran pakar hukum yang berpikir interdisipliner. Prof. Boy sama sekali jauh dari kesan positivis ‘saklek’. Tak seperti kebanyakan pakar pidana yang ketat dalam pandangan legisme dan asas legalitas, pada 1971 ia sudah mengajak untuk melihat akar masalah kejahatan dari perspektif kriminologi (hal.119).

Alih-alih berdebat bagaimana menjerat pelaku kejahatan dengan norma hukum secara efektif, Prof. Boy mengajukan pertanyaan mengakar: apa yang menyebabkan orang melanggar norma? apa yang harus dilakukan untuk mencegah pelanggaran norma? (hal.125).

Ia juga mengenalkan perlunya perspektif viktimologi agar sistem peradilan pidana mengakomodasi kepentingan korban lebih seimbang. Penderitaan korban kerap terlupakan karena hukum pidana terlalu fokus menghukum pelaku kejahatan (hal.184). Sebanyak 14 judul tulisan tersaji pada bagian kedua ini.

Tags:

Berita Terkait