Memahami UU Komisi Pemberantasan Korupsi (1)
Kolom

Memahami UU Komisi Pemberantasan Korupsi (1)

Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan

Bacaan 2 Menit

 

Merujuk kepada doktrin hukum pidana baik dari para ahli hukum pidana Belanda maupun Indonesia, semakin jelas bahwa, masalah asas non-retroaktif dalam hukum pidana belum memiliki satu pemahaman yang sama dan bahkan justru sangat merugikan perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang. Mengapa? Hal ini disebabkan tafsir hukum umum yang diakui bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) sebagai pengecualian dari bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (1) justru tidak lagi harus ditafsirkan bahwa keberadaan UU baru tersebut harus dilihat dari kepentingan (keuntungan) terdakwa, melainkan justru juga harus dilihat dari kerugian bagi terdakwa. Hal ini menegaskan kembali bahwa, tafsir hukum atas “perubahan ketentuan perundang-undangan” tidak lagi semata-mata harus diukur dari kepentingan tersangka/terdakwa melainkan juga harus dilihat/diukur dari sejauh mana perubahan tersebut juga “menguntungkan kepentingan masyarakat yang lebih luas”.

 

Penafsiran baru ini  justru sangat sejalan dan relevan dengan perkembangan paradigma baru hukum pidana modern, yaitu: “daad-dader-victim strafrecht” (kepentingan keseimbangan antara perbuatan-pelaku dan korban kejahatannya). Penafsiran baru ini, menurut pendapat penulis, lebih cocok, relevan dan aktual dalam kurun waktu perkembangan penafsiran hukum pidana modern abad 21 ini, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan hukum hak asasi manusia, khususnya hukum humaniter, dan hukum pidana internasional, termasuk  termasuk standar internasional pertanggungjawaban pidana dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi).

 

Sejarah lahirnya ketentuan Pasal 68 UU KPK tersebut di atas cukup menguras pikiran dan tenaga karena persetujuan atas ketentuan tersebut dicapai dengan berbagai forum lobi dan resistensi dari instansi penegak hukum khususnya Kejaksaan Agung ketika itu. Ketentuan Pasal 68 di atas adalah ketentuan kompromistis antara pemerintah dan DPR (Komisi II) yang optimal dapat dicapai karena usulan pemerintah bahwa KPK memonopoli wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan telah menuai resistensi dari Kejaksaan Agung dan beberapa anggota DPR  ketika itu. Draft awal pemerintah tersebut mengisyaratkan bahwa, jika KPK nanti terbentuk Kejaksaan Agung maupun Kepolisian tidak lagi menangani perkara korupsi.  

 

Penulis yang ketika itu, duduk selaku wakil pemerintah kemudian menyusun strategi alternatif yaitu dengan menyetujui keberatan dari sebagian anggota Komisi II, akan tetapi mengajukan usulan baru, yaitu dengan menyampaikan konsep “unwillingness” (ketidakadaan keinginan) atau “unable(ketidakmampuan) sebagai solusi terhadap keberatan-keberatan sebagaimana diuraikan di atas.

 

Penulis mengutip ketentuan di dalam Statuta ICC (Mahkamah Pidana Internasional/MPI) yang telah mencantumkan ketentuan mengenai prinsip inadmissibility (Pasal 17 sd 19) yang menegaskan bahwa, MPI akan mengambil alih fungsi pengadilan nasional jika telah terbukti bahwa pengadilan nasional telah tidak memiliki keinginan (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk menangangi perkara pelanggaran HAM berat. Prinsip inipun merupakan jalan keluar dari “deadlock” pembahasan draft Statuta MPI dalam sidang pembahasan draft ICC di PBB karena sebagian besar negara maju terutama keberatan dengan ketentuan tersebut yang dianggap telah melampaui batas kedaulatan hukum suatu negara, dan bertentangan dengan prinsip hukum internasional.

 

Atas dasar usulan baru (alternatif) pemerintah tersebut anggota Komisi II ketika itu telah menyetujuinya dan dimasukkan ke dalam ketentuan Pasal 6 UU KPK huruf b, sebagai berikut “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”.

 

Ketentuan Pasal 6 huruf b, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 8 yang menegaskan di dalam menjalankan wewenang supervisi tersebut, KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan(Pasal 8 ayat (2). Konsep “unwilling” atau “unable” usulan pemerintah kemudian disepakati dan dirinci secara limitatif menjadi 6 (enam) alasan sebagai tercantum di dalam Pasal 9 UU KPK .

 

Perlu digarisbawahi oleh para penegak hukum bahwa, ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi    pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan, dengan pertimbangan bahwa, ketika kepolisian atau kejaksaan sedang melakukan langkah penyelidikan atau penyidikan, KPK telah dibentuk, dan telah melaksanakan koordinasi dan supervisi dengan kedua instansi penegak hukum tersebut sehingga KPK terus mengikuti perkembangan penanganannya. Ketika KPK mengambil alih penanganan perkara korupsi tersebut, maka KPK cukup dapat mengambil sejak tahap penyidikan saja, tidak diperlukan melakukan pengambilalihan sejak penyelidikan. 

 

Namun demikian terhadap perkara korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPK,  di mana KPK belum dapat melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian atau Kejaksaan, maka sangat tepat jika KPK harus  mengambil alih penanganan korupsi tersebut sejak tahap  penyelidikan, dengan  pertimbangan  untuk memelihara kesinambungan penanganan perkara korupsi, memelihara kepastian hukum dan keadilan serta keseimbangan kepentingan antara pelaku dan  korban kejahatan.

 

Merujuk kepada uraian di atas, dimasukkannya ketentuan Pasal 68 UU KPK di dalam Bab Peralihan, justru merupakan “penyimpangan sementara” (baca butir C.4. angka 103 UU Nomor 10 tahun 2004-lihat dan baca note 6) terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 9 UU KPK.

 

*Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran/Ketua Tim Penyusun RUU KPK/Mantan Ketua Panitia Seleksi Pemilihan Pimpinan KPK

Tags: