Memahami UU Komisi Pemberantasan Korupsi (1)
Kolom

Memahami UU Komisi Pemberantasan Korupsi (1)

Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan

Bacaan 2 Menit
Memahami UU Komisi Pemberantasan Korupsi (1)
Hukumonline

Pendahuluan

UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan amanat ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Ide untuk membentuk KPK terjadi pada saat pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi -kini tercantum dalam Pasal 43 UU Nomor 31 tahun 1999- yang merupakan usulan Fraksi PPP, dan wakil pemerintah saat itu menerima usulan tersebut dan mengusulkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik -kini tercantum dalam Pasal 37 UU Nomor 31 tahun 1999-.

 

Implementasi ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 tahun 1999 tersebut di atas dilaksanakan pemerintah khususnya Departemen Kehakiman ketika itu dengan melakukan persiapan-persiapan, antara lain pembentukan Tim Persiapan Pembentukan KPK di bawah koordinasi Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra. Penulis ketika itu menjabat Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, merangkap sebagai Ketua Tim Persiapan. Ketika itu, bantuan dana mengalir dari Asian Development Bank sebesar AS$1 juta.

 

Sejauh ini, KPK dinilai telah membuktikan kinerja yang dipandang baik dan memadai serta memiliki kredibilitas tinggi baik dalam pandangan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Hal ini terbukti dari banyaknya kunjungan sejumlah komisi anti korupsi negara lain yang berkunjung ke KPK sejak dua tahun akhir-akhir ini.

 

Sebelum sampai pada substansi permasalahan, penulis perlu menyampaikan bagaimana cara membaca dan memahami suatu UU, khususnya UU KPK. Penulis yakin bahwa, teknik pembacaan untuk memahami secara komprehensif mengenai tugas dan wewenang KPK sangat diperlukan dalam penegakan hukum terhadap perkara korupsi, baik untuk saat ini maupun untuk  masa yang akan datang.

 

A.   Membaca Suatu Undang-undang

UU merupakan hukum yang tertulis (written law). Artinya, ketentuan mengenai hal-hal yang dibolehkan atau dilarang dilakukan atau merupakan perintah yang disusun dalam bentuk tulisan yang bermakna sebagaimana diperoleh dari penjelasan umum atau penjelasan pasal demi pasal. Bentuk lainnya adalah hukum yang tidak tertulis atau dikenal sebagai hukum adat atau “unwritten law”. Selain itu, dalam praktik penerapan hukum dimungkinkan berlakunya sumber hukum baru, yang disebut, “yurisprudensi” yakni suatu putusan pengadilan atas suatu perkara tertentu yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

 

Membaca UU berarti mempelajari juga struktur perundang-undangan. Sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, struktur sebuah UU terdiri dari: Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan (jika diperlukan), dan Lampiran (jika diperlukan). Bagian Pembukaan meliputi: Frase Dengan Rahmat Tuhan YME; Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan; Konsiderans; Dasar Hukum; dan Diktum. Sementara, Batang Tubuh meliputi: Ketentuan Umum; Materi Pokok yang diatur; Ketentuan Pidana (jika diperlukan); Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); Ketentuan Penutup.

 

Teknik membaca suatu UU dapat dilakukan secara sistematis mulai dengan memahami uraian mengenai penjelasan umum; materi muatan pasal demi pasal beserta penjelasan (jika ada); sinkronisasi antara uraian penjelasan umum dan materi muatan dimaksud; dilanjutkan dengan bagian menimbang dan mengingat serta diktum.

 

Dalam membaca UU juga wajib diketahui latar belakang diperlukan UU dimaksud baik dari aspek filosofis yaitu cita hukum yang terkandung di balik keberadaan UU dimaksud; aspek yuridis yaitu kesesuaian UU dimaksud dengan seluruh ketentuan UUD 1945 sebagai “grund-norms”; dan sinkronisasi UU dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain kedua aspek tersebut, juga harus mengetahui aspek sosiologis, yaitu kebutuhan aspirasi masyarakat dalam kurun waktu tertentu di mana UU tersebut ditetapkan.

 

Pada bagian Penjelasan Umum lazimnya diuraikan ketentuan pasal-pasal yang dianggap sebagai ciri khas dari suatu UU yang dipandang sebagai ketentuan kunci (key articles). Ketentuan kunci dimaksud lazimnya mencerminkan pembaruan atau penemuan hukum baru. Cara membaca dan memahami dengan penafsiran hukum secara komprehensif tersebut akan diketahui politik hukum   suatu UU di dalam kehidupan masyarakat tertentu dan pada suatu kurun waktu tertentu.

 

Dalam kaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, teknik membaca  tersebut di atas, sangat penting untuk memahami  secara menyeluruh UU Pemberantasan Korupsi, terutama bagi Kepolisian, Kejaksaan atau KPK dan praktisi hukum, termasuk hakim yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Penegasan pentingnya pembacaan yang benar dan pemahaman mengenai UU Pemberantasan korupsi telah dinyatakan secara tegas di dalam Bagian Menimbang huruf b UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999:

 

bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

 

Dalam rangka memperoleh pemahaman yang memadai dan komprehensif mengenai tugas dan wewenang KPK sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002, maka diperlukan pula pemahaman yang memadai mengenai UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik yang tercantum di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 maupun di dalam perubahannya sebagaimana dicantumkan di dalam UU Nomor 20 tahun 2001. Pemahaman kedua UU terakhir merupakan conditio sine qua non atas pemahaman UU KPK, khususnya mengenai tugas dan wewenang KPK dalam pemberantasan korupsi.

 

Pemahaman yang benar dan memadai mengenai Kedua UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK, berarti memahami seluruh kebijakan rasional penegakan hukum terhadap perkara korupsi di Indonesia. Dengan begitu, dapat dipahami pula pentingnya kedudukan KPK, di samping Kepolisian atau Kejaksaan, dan hubungan koordinasi atau supervisi antara ketiga lembaga penegak hukum tersebut, baik terhadap perkara korupsi yang terjadi setelah maupun sebelum terbentuknya KPK.

 

Ketiga UU berkaitan dengan pemberantasan korupsi tersebut di atas merupakan “tri-tunggal” yang tidak dapat dipisahkan sekalipun dapat dibedakan, dan merupakan arah penentu politik hukum dalam pemberantasan korupsi. Hal ini berarti bahwa arah politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi tidak ditentukan oleh satu atau dua pasal saja dari UU KPK atau Kedua UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melainkan ditentukan oleh seluruh ketentuan UU Pemberantasan Korupsi dan UU KPK.

 

B.   Tafsir Hukum Ketentuan KPK Dapat Mengambil Alih Perkara Korupsi dan Wewenang “Retroaktif

Kewenangan KPK dapat mengambil alih tercantum di dalam Pasal 68, dan harus dibedakan dengan ketentuan Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 UU KPK. Pasal 68 dicantumkan di dalam Bab XI Ketentuan Peralihan, sedangkan Pasal 6, 8 dan 9 dicantumkan di dalam Bab II, “Tugas, Wewenang, dan Kewajiban”. Perbedaan mendasar kedua Bab tersebut adalah Bab II merupakan bab khusus mengenai wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak pidana korupsi setelah terbentuknya KPK. Sementara, Bab XI merupakan ketentuan khusus yang memberikan wewenang kepada KPK untuk mengambil alih  perkara korupsi yang belum selesai penanganannya sebelum dibentuk KPK.

 

Dalam konteks perbedaan ini, pembentuk UU, memberikan arah politik hukum. Pertama, korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi  masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (Bagian Menimbang huruf a, UU Nomor 20 tahun 2001 Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999). Pernyataan pada bagian Menimbang tersebut mencerminan suatu pemikiran bahwa, “tidak boleh ada tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan secara hukum” sekalipun tindak pidana korupsi tersebut telah terjadi di masa lalu.

 

Kedua, KPK adalah lembaga “superbody” yang memiliki wewenang lebih dibandingkan dengan Kepolisian atau Kejaksaan Agung dalam tindakan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan. Ketiga, dalam keadaan dimana ditegaskan secara limitatif di dalam Pasal 68 tersebut, KPK dapat mengambil alih perkara korupsi sebelum terbentuknya KPK. Wewenang ini tidak dimiliki oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Namun demikian KPK berdasarkan UU KPK tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan (SP3), berbeda dengan Kepolisian atau Kejaksaan yang memiliki wewenang SP3 tersebut.

 

Wewenang KPK untuk melakukan pengambil-alihan berdasarkan Pasal 68 UU KPK tersebut tidak tepat dipandang sebagai wewenang “retroaktif”. Hal ini disebabkan pemberlakuan asas retroatktif hanya ditujukan secara khusus kepada suatu perbuatan atau “daad” yang telah terjadi/dilakukan ketika suatu UU yang melarang perbuatan tersebut, belum diberlakukan. Hukum Pidana atau KUHP merupakan hukum yang mengatur mengenai norma dan sanksi pidana yang dilandaskan kepada paradigma, “daad-dader strafrecht”, bukan kepada masalah wewenang untuk menuntut dari suatu  lembaga penegak hukum.

 

Pandangan sementara pakar hukum dan beberapa pimpinan KPK mengenai asas non-retroaktif tersebut telah menyesatkan masyarakat karena semata-mata belum dipahami secara menyeluruh mengenai apa dan bagaimana serta untuk tujuan apakah asas non-retroaktif tersebut diakui di dalam doktrin hukum pidana.  Keyakinan bahwa, asas non-retroaktif hanya diakui di dalam hukum pidana materiel (KUHP), terbukti dari bunyi ketentuan di dalam perundang-undangan sebagai berikut:

 

Ketentuan Peralihan, Pasal 284 ayat (1) KUHAP, UU Nomor 8 Tahun 1981: Terhadap perkara yang ada sebelum UU ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan UU ini”.  

 

Ahli hukum pidana Moelyatno tidak banyak memberikan penjelasan mengenai asas non-retroaktif. Namun, Moelyanto telah memberikan penjelasan, “Asas ini sebenarnya sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetegeving (Ketentuan-Ketentuan Umum tentang perundang-undangan) yang dikeluarkan Pemerintah Belanda dengan Publicatie (pengumuman) tanggal 30 April 1847 (Staatsblad 1847 No.23).

 

Pasal 2 ini berbunyi: “UU hanya hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut”. Bahwa asas ini diulangi untuk hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menandakan bahwa larangan berlaku surut ini oleh pembentuk undag-undang ditekankan bagi hukum pidana”.

 

Pendapat Remmelink, secara tidak langsung menjelaskan bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP Belanda dalam kaitan bunyi Pasal 1 ayat (2) mengenai, “lex temporis delicti” yaitu bila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan ketika suatu tindak pidana telah dilakukan dan UU lama telah diberlakukan. Menurut penjelasan Remmelink, agak berbeda dengan penjelasan umum mengenai ketentuan peralihan Pasal 1 ayat (2) tersebut yang menegaskan bahwa yang diberlakukan adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih menguntungkan terdakwa.

 

Akan tetapi masih ada pertanyaan sebagaimana diungkapkan Wirjono Prodjodikoro, bagaimana terhadap terdakwa yang telah diberlakukan dengan sanksi pidana dalam UU yang lama? Bukankah ketentuan peralihan tersebut telah menimbulkan ketidakadilan sepihak bagi yang bersangkutan karena telah diberlakukan ketentuan yang merugikan.

 

Di tengah-tengah ketidakpastian hukum dan juga ketidakadilan sebagai akibat terjadi perubahan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, Remmelink, menyampaikan solusi hukum yang perlu dipertimbangkan pakar-pakar hukum dan praktisi hukum. Remmelink mengemukakan bahwa solusi hukum tersebut terletak dalam dua ajaran hukum pidana, pertama, adalah ajaran formil dan, kedua,  ajaran materiel terbatas.

 

Ajaran formil, pengertian “wetgeving” harus diartikan “strafwetgeving”, dalam arti menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (straafbaarstelling). Dalam kaitan yang akan turut diperhitungkan sebagai akibat perubahan perundang-undangan pidana adalah, perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak di bidang hukum administratif dapat diabaikan.

 

Sedangkan ajaran materiel terbatas, justru di dalam perubahan peraturan perundang-undangan tersebut akan turut diperhitungkan perubahan-perubahan materiel dengan satu syarat yaitu: dari atau melalui perubahan ini harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat UU tentang kepantasan tindakan tersebut untuk diancam pidana. Pandangan kreatif-restriktif ini, justru bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (2) tidak ditafsirkan untuk keuntungan terdakwa, melainkan justru untuk kerugian terdakwa.

 

Merujuk kepada doktrin hukum pidana baik dari para ahli hukum pidana Belanda maupun Indonesia, semakin jelas bahwa, masalah asas non-retroaktif dalam hukum pidana belum memiliki satu pemahaman yang sama dan bahkan justru sangat merugikan perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang. Mengapa? Hal ini disebabkan tafsir hukum umum yang diakui bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) sebagai pengecualian dari bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (1) justru tidak lagi harus ditafsirkan bahwa keberadaan UU baru tersebut harus dilihat dari kepentingan (keuntungan) terdakwa, melainkan justru juga harus dilihat dari kerugian bagi terdakwa. Hal ini menegaskan kembali bahwa, tafsir hukum atas “perubahan ketentuan perundang-undangan” tidak lagi semata-mata harus diukur dari kepentingan tersangka/terdakwa melainkan juga harus dilihat/diukur dari sejauh mana perubahan tersebut juga “menguntungkan kepentingan masyarakat yang lebih luas”.

 

Penafsiran baru ini  justru sangat sejalan dan relevan dengan perkembangan paradigma baru hukum pidana modern, yaitu: “daad-dader-victim strafrecht” (kepentingan keseimbangan antara perbuatan-pelaku dan korban kejahatannya). Penafsiran baru ini, menurut pendapat penulis, lebih cocok, relevan dan aktual dalam kurun waktu perkembangan penafsiran hukum pidana modern abad 21 ini, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan hukum hak asasi manusia, khususnya hukum humaniter, dan hukum pidana internasional, termasuk  termasuk standar internasional pertanggungjawaban pidana dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi).

 

Sejarah lahirnya ketentuan Pasal 68 UU KPK tersebut di atas cukup menguras pikiran dan tenaga karena persetujuan atas ketentuan tersebut dicapai dengan berbagai forum lobi dan resistensi dari instansi penegak hukum khususnya Kejaksaan Agung ketika itu. Ketentuan Pasal 68 di atas adalah ketentuan kompromistis antara pemerintah dan DPR (Komisi II) yang optimal dapat dicapai karena usulan pemerintah bahwa KPK memonopoli wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan telah menuai resistensi dari Kejaksaan Agung dan beberapa anggota DPR  ketika itu. Draft awal pemerintah tersebut mengisyaratkan bahwa, jika KPK nanti terbentuk Kejaksaan Agung maupun Kepolisian tidak lagi menangani perkara korupsi.  

 

Penulis yang ketika itu, duduk selaku wakil pemerintah kemudian menyusun strategi alternatif yaitu dengan menyetujui keberatan dari sebagian anggota Komisi II, akan tetapi mengajukan usulan baru, yaitu dengan menyampaikan konsep “unwillingness” (ketidakadaan keinginan) atau “unable(ketidakmampuan) sebagai solusi terhadap keberatan-keberatan sebagaimana diuraikan di atas.

 

Penulis mengutip ketentuan di dalam Statuta ICC (Mahkamah Pidana Internasional/MPI) yang telah mencantumkan ketentuan mengenai prinsip inadmissibility (Pasal 17 sd 19) yang menegaskan bahwa, MPI akan mengambil alih fungsi pengadilan nasional jika telah terbukti bahwa pengadilan nasional telah tidak memiliki keinginan (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk menangangi perkara pelanggaran HAM berat. Prinsip inipun merupakan jalan keluar dari “deadlock” pembahasan draft Statuta MPI dalam sidang pembahasan draft ICC di PBB karena sebagian besar negara maju terutama keberatan dengan ketentuan tersebut yang dianggap telah melampaui batas kedaulatan hukum suatu negara, dan bertentangan dengan prinsip hukum internasional.

 

Atas dasar usulan baru (alternatif) pemerintah tersebut anggota Komisi II ketika itu telah menyetujuinya dan dimasukkan ke dalam ketentuan Pasal 6 UU KPK huruf b, sebagai berikut “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”.

 

Ketentuan Pasal 6 huruf b, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 8 yang menegaskan di dalam menjalankan wewenang supervisi tersebut, KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan(Pasal 8 ayat (2). Konsep “unwilling” atau “unable” usulan pemerintah kemudian disepakati dan dirinci secara limitatif menjadi 6 (enam) alasan sebagai tercantum di dalam Pasal 9 UU KPK .

 

Perlu digarisbawahi oleh para penegak hukum bahwa, ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi    pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan, dengan pertimbangan bahwa, ketika kepolisian atau kejaksaan sedang melakukan langkah penyelidikan atau penyidikan, KPK telah dibentuk, dan telah melaksanakan koordinasi dan supervisi dengan kedua instansi penegak hukum tersebut sehingga KPK terus mengikuti perkembangan penanganannya. Ketika KPK mengambil alih penanganan perkara korupsi tersebut, maka KPK cukup dapat mengambil sejak tahap penyidikan saja, tidak diperlukan melakukan pengambilalihan sejak penyelidikan. 

 

Namun demikian terhadap perkara korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPK,  di mana KPK belum dapat melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian atau Kejaksaan, maka sangat tepat jika KPK harus  mengambil alih penanganan korupsi tersebut sejak tahap  penyelidikan, dengan  pertimbangan  untuk memelihara kesinambungan penanganan perkara korupsi, memelihara kepastian hukum dan keadilan serta keseimbangan kepentingan antara pelaku dan  korban kejahatan.

 

Merujuk kepada uraian di atas, dimasukkannya ketentuan Pasal 68 UU KPK di dalam Bab Peralihan, justru merupakan “penyimpangan sementara” (baca butir C.4. angka 103 UU Nomor 10 tahun 2004-lihat dan baca note 6) terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 9 UU KPK.

 

*Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran/Ketua Tim Penyusun RUU KPK/Mantan Ketua Panitia Seleksi Pemilihan Pimpinan KPK

Tags: