Melihat Potensi Penyelesaian Sengketa Arbitrase Secara Elektronik di Indonesia
Utama

Melihat Potensi Penyelesaian Sengketa Arbitrase Secara Elektronik di Indonesia

Dalam masa pandemi Covid-19, Indonesia sudah menerapkan persidangan secara elektronik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

“Besar harapan agar BANI diusulkan sebagai ODR Provider Indonesia untuk sengketa B2B pada APEC Economic Committee,” ujarnya.

Senior Partner Budidjaja International Lawyers sekaligus Director-General of MedArbid, Toni Budidjaja, mengatakan bahwa ODR lahir karena maraknya e-commerce. Kemudian kondisi pandemi membuat persidangan elektronik mendesak untuk dilakukan hingga lahirnya Perma 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, yang mengatur persidangan elektronik. Pasal 1 ayat (7): Persidangan Secara Elektronik adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi”.

Selain Perma 1/2019, persidangan secara elektronik juga diatur dalam PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce). Toni menyebut penyelesaian sengketa lewat sistem ODR memberikan banyak kelebihan, seperti tepat waktu, dapat diakses 24/7, fleksibel, efisien, access to justice, memangkas proses administrasi yang sifatnya rutin, menyediakan informasi yang lengkap dan tepa, dn paperless.

Namun demikian, pelaksanaan ODR juga memiliki hambatan atau tantangan seperti aspek legal atau landasan hukum terkait sidang, bukti, keputusan dan eksekusi. Kemudian ada tantangan lain non-legal seperti psikologis manusia yang tidak mau perubahan dan enggan melakukan hal baru, serta teknologi dan keamanan.

Sementara itu, Direktur Kebijakan dan Kerja Sama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Faiz Aziz menilai setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi jika Indonesia ingin menggunakan APEC ODR. Empat hal dimaksud adalah melakukan sosialisasi platform ODR untuk mendapatkan dukungan dari kalangan dunia usaha terutama UMKM, mempersiapkan regulasi, mempersiapkan inftrastruktur, dan pengembangan kapasitas ODR provider dan pelaku UMKM.

Terkait perangkat hukum, Faiz menyebut Indonesia harus mengadopsi instrument hukum internasional terkait ODR, seperti 2006 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration, 2005 UN Convention on the Use of Electronic Communications in International Contracts, dan 1996 UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.

Sedangkan terkait regulasi sektoral yang mendukung ODR seperti RUU Perlindungan Data Pribadi, pengakuan hukum Artificial Intelligence (AI), pedoman sertifikasi lembaga ODR yang menggunakan perangkat AI, dan mekanisme eksekusi ideal.

“Isu mengenai kerahasiaan dan keamanan menjadi tantangan mengingat apabila data bisa diretas dan bocor dapat berdampak pada isu keamanan teknologi ODR dan perlindungan data pribadi para pihak,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait