Melihat Potensi Penyelesaian Sengketa Arbitrase Secara Elektronik di Indonesia
Utama

Melihat Potensi Penyelesaian Sengketa Arbitrase Secara Elektronik di Indonesia

Dalam masa pandemi Covid-19, Indonesia sudah menerapkan persidangan secara elektronik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Pasal tersebut menyatakan; “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak”.

Kemudian, lanjutnya, BANI mengatur hal tersebut secara lebih luas. Peraturan dan Prosedur BANI Tahun 2018 memungkinkan penggunaan sarana elektronik di dalam menyelesaikan sengketa, yakni Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan... Rapat-rapat internal dan sidang-sidang Majelis Arbitrase atau Arbiter Tunggal dapat diadakan pada setiap waktu dan tempat, termasuk melalui jaringan internet, apabila Majelis Arbitrase atau Arbiter Tunggal menganggap perlu.”

Di BANI sendiri, persidangan elektronik sudah dilakukan pada Mei tahun lalu, sejak pandemi Covid-19. Meski ada keterbatasan ruang gerak, Haula Adolf menegaskan bahwa sengketa tidak boleh diam dan tetap harus berjalan. Hal ini mengingat adanya keterbatasan waktu dalam penyelesaian sengketa arbitrase yang hanya dibatasi maksimal 180 hari. (Baca: 5 Strategi Pra Arbitrase yang Harus Dipahami)

“Bahkan sejak pandemi Covid-19, BANI telah melaksankan arbitrase online sejak 2020 sesuai Peraturan dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik Tahun 2020 sejak 28 Mei 2020. Full online sudah dilakukan sejak 2020, karena pandemi, work from home, keterbatasan bergerak, tidak boleh keluar rumah, sengkata tidak boleh diam dan sengketa harus jalan karena kita di dalam Pasal 48 UU Arbitrase itu 180 hari sengketa harus selesai. Kesimpulannya arbitrase online sudah berjalan dengan baik,” katanya pada acara yang sama.

Huala Adolf melanjutkan, sejauh ini baik perangkat hukum, SDM dan infrastruktur terkait penyelenggaraan sengketa elektronik dinilai sudah cukup. Hanya saja masih perlu perbaikan terutama terkait amandemen UU Arbitrase.

“Mengenai SDM, di BANI itu arbiter nasional ada 70 orang dan asing ada 70 orang, penggunaan elektronik sudah biasa jadi tidak masalah. Hambatannya SDM, kemungkinan SDM kita berhadapan dengan perspektif hukum, yaitu di luar menggunakan Common Law dan aspek-aspek penerapan hukumnya yang kemungkinan akan berbeda. Selebihnya tidak ada masalah SDM, hanya amandemen. Kita harus bikin aturan yang kompetitif, mendorong pembangunan hukum di Indonesia,” tambahnya.

Terkait dengan niat baik untuk memfasilitasi UMKM dalam menghadapi sengketa lintas batas, Huala Adolf mengaku pihdaknya siap membantu sengketa kecil dengan biaya rendah. Haula Adolf juga menegaskan BANI sangat mendukung program kerja APEC ODR dan BANI berpeluang berpartisipasi sebagai ODR Provider Indonesia pada APEC ODR Framework.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait