Melawan Kenakalan di Balik Pendaftaran Merek
Fokus

Melawan Kenakalan di Balik Pendaftaran Merek

Asas perlindungan hukum terhadap pendaftar merek pertama, tak selamanya berimplikasi positf. Asas itu kerap menjadi celah bagi pedagang merek, dan diperparah kenakalan petugas pemeriksa merek. Hati-hati meghadapi bad applicant.

Mon/M-8
Bacaan 2 Menit

 

Alih-alih memberikan perlindungan hukum, Ditjen HKI malah sering terseret dalam sengketa HKI di Pengadilan Niaga lantaran pendaftaran HKI ‘bermasalah'. Ditjen HKI biasanya ditempatkan sebagai tergugat atau turut tergugat atas gugatan penghapusan atau pembatalan HKI. Jika tidak menjadi pihak bersengketa, Ditjen HKI juga kecipratan untuk melaksanakan putusan pengadilan.

 

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melansir sengketa HKI yang sering bergulir di pengadilan adalah sengketa merek. Prosentasenya jauh lebih besar ketimbang perkara hak cipta, desain industri dan paten. Pengadilan mencatat, pada 2007 prosentase perkara merek sebesar 92 % (67 kasus), hak cipta 2 % (6 kasus), desain industri 2 % (8 kasus) dan paten 4 % (4 kasus).

 

Pada tahun 2008 jumlah perkara merek menurun tipis menjadi 61 kasus. Perkara paten dan  desain industri malah meningkat. Yakni,  8 kasus paten dan desain industri 10 kasus. Sementara kasus hak cipta jumlahnya tak berubah yakni 6 kasus. Tahun 2009 perkembangan sengketa HKI belum bisa dipastikan. Berdasarkan catatan Hukumonline, hingga Maret 2009 perkara merek yang terdaftar baru 12 perkara, sedangkan perkara desain industri 4 kasus dan hak cipta satu kasus.

 

Itu baru di Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat. Gambaran secara nasional juga menunjukkan banyaknya perkara merek dibanding bidang HKI lain. Tengok saja data kasus yang ditangani tiga lembaga penegak hukum ini. Perkara merek yang ditangani Ditjen HKI pada 2007 mencapai 29. Bandingkan dengan hak cipta yang hanya 9 kasus, desain industri 6 kasus, paten 3 kasus. Jumlah kasus merek pada tahun yang sama di Kejaksaan Agung adalah 32 kasus, dan ditangani Polri 83 kasus. Satu-satunya yang mampu mengimbangi jumlah kasus merek adalah hak cipta, itu pun lantaran banyaknya kasus VCD/DVD bajakan. Secara umum, merek lebih sering menjadi bahan sengketa ke pengadilan.

 

Mengapa perkara merek lebih sering disengketakan? Konsultan HKI Suyud Margono menjelaskan pendaftaran merek bertujuan untuk membedakan jenis barang dan jasa sejenis. Merek itu bisa mengidentifikasi asal usul barang dan jasa. Untuk  mempertahankan nama dagang tertentu, dipromosikan dengan mengeluarkan dana yang tak sedikit. Bahkan dari satu merek bisa berkembang beberapa desain industri dan paten baru. Terlebih lagi jika merek itu diambil dari nama perusahaan. Jadi kalau dibatalkan atau  diganggu gugat pihak lain akan menimbulkan kerugian secara bisnis, ujar Suyud saat dihubungi beberapa waktu lalu.

 

Nyatanya, banyak merek terkenal yang didaftarkan oleh bad applicant (pendaftar beritikad buruk) masih lolos terdaftar di Ditjen HKI. Misalnya, merek Gucci asal Italia yang didompleng dengan merek Guchi, merek Koyo asal Jepang vs Koyo berlogo kelaher, merek Ikea asal Belanda asal vs Ikea 168, merek Sebamed asal Jerman vs Seba dan Ferarri asal Italia vs Ferrari versi Indonesia. Akhirnya pengadilan membatalkan merek pengusaha lokal yang dinilai mendompleng ketenaran suatu merek.

 

Bad applicant, kata Suyud, biasanya berlindung di balik asas first to file. Azas itu memberikan perlindungan hukum bagi pendaftar pertama. Kebanyakan bad applicant mendaftarkan ke kelas yang bukan eksention dari bisnis dimana merek tersebut berasal, kata Suyud.

Tags: