Melacak Kebenaran Syafruddin Prawiranegara Presiden RI? Begini Kata Prof Yusril
Utama

Melacak Kebenaran Syafruddin Prawiranegara Presiden RI? Begini Kata Prof Yusril

Terdapat 3 hal yang perlu dicermati dalam menentukan benar tidaknya Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI bisa disebut sebagai Presiden RI.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) periode 2004-2007 pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla itu berpendapat mandat pembentukan PDRI itu sesuai dengan tradisi pemerintahan sistem parlementer, di mana Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat kepada untuk membentuk kabinet. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1949 Indonesia menganut sistem parlementer.

“Ketika Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat untuk membentuk kabinet, maka yang menerima mandat itu statusnya bukan Presiden, tapi Perdana Menteri. Karena itu, tidak mungkin Syafruddin menerima mandat membentuk PDRI dan dirinya sebagai Presiden,” ujarnya.

Kedua, indikator lain yang memperkuat argumentasi Syafruddin Prawiranegara bukan Presiden yakni surat-menyurat yang dilakukan Syafruddin dengan Soekarno. Dalam surat yang masih tersimpan rapi di Arsip Nasional, Yusril melihat dalam surat yang dikirim PDRI kepada Soekarno tertulis surat itu menyebut status Soekarno sebagai Paduka Yang Mulia Presiden RI dan Syafruddin sebagai Ketua PDRI.

Ketiga, tahun 1949 tekanan dunia internasional kepada pemerintah Belanda semakin kuat. Amerika Serikat terlibat dan memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda di kapal AS bernama USS Renville. Delegasi Indonesia yang memimpin perundingan itu adalah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.

Yusril menegaskan Syarifuddin mengembalikan mandat Ketua PDRI yang diampu sejak Desember 1948 kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada Juli 1949.

Pengembalian mandat itu menegaskan kembali bahwa posisi Syarifuddin bukan sebagai Presiden. Pentingnya pengembalian mandat itu agar tidak terjadi dualisme pemerintahan di Indonesia. Setelah PDRI bubar pemerintah Indonesia fokus untuk menghadapi perundingan berikutnya dengan Belanda, salah sastunya Konferensi Meja Bundar (KMB).

Konstitusi tidak mengatur

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah itu lebih jauh menerangkan konstitusi tidak mengatur pemberian mandat dari Presiden untuk membentuk pemerintahan darurat. Konstitusi hanya mengatur keadaan darurat dalam konteks pemerintah bertanggung jawab mengatasi keadaan darurat, tapi untuk mengatasi hal itu tidak punya perangkat dan norma hukum. Dengan begitu, pemerintah berhak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait