Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO
Berita

Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO

Karena dianggap tidak menguntungkan Indonesia. Undang-undang negara yang dibangun untuk melindungi masyarakatnya digugat untuk kepentingan korporasi negara maju.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Indonesia Gugat Australia Soal Kemasan Polos Produk Rokok)

 

Koalisi mencatat, ada 3 (tiga) dampak utama dari praktik liberalisasi pertanian sejak Indonesia meratifikasi Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture) WTO sejak tahun 1995, yaitu: Pertama, pembukaan akses pasar pertanian ke pasar domestik telah menyebabkan peningkatan jumlah impor produk pertanian yang masuk ke Indonesia.

 

Kedua, dengan dibatasinya subsidi bagi petani lokal di Indonesia telah menyebabkan penurunan produktivitas pertanian akibat tingginya biaya produksi petani yang kemudian berdampak pada ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor yang harganya lebih murah.

 

Ketiga, pelemahan peran badan usaha negara (Badan Urusan Logistik/BULOG) sebagai badan penyangga untuk stabilisator harga pangan pokok melalui swastanisasi sehingga dukungan dana dari negara tidak lagi besar dan lebih berperan sebagai importir resmi pemerintah.

 

Selanjutnya, kegagalan WTO dalam menyelesaikan perundingan pertanian yang terkait dengan isu domestic support, special product and special safeguard measures, semakin memperkuat bahwa perjanjian WTO semakin tidak relevan bagi kehidupan petani Indonesia. Terlebih, menggantungnya nasib Proposal G33 WTO mengenai public stockholding for food security tanpa solusi permanen akan terus mendorong ketidakpastian bagi nasib petani Indonesia. 

 

Sementara itu, koalisi juga menilai kesepakatan Paket Bali dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO di Bali pada Desember 2013 pada akhirnya tidak memberikan arti apa-apa bagi pencapaian kesepakatan isu public food stockholding. Periode itu bisa dikatakan sebagai kegagalan besar Pemerintah Indonesia, sebagai tuan rumah dan ketua perundingan, dalam memperjuangkan nasib petani di WTO. Bahkan menukarnya dengan disepakatinya perjanjian isu Singapura yang merupakan agenda negara maju, yaitu fasilitas perdagangan. 

 

Paska KTM Ke-9 WTO di Bali tahun 2013, agenda pembangunan Doha atau Doha Development Agenda (DDA) terus didesak untuk ditinggalkan oleh negara maju. Ini artinya, WTO akan menutup rapat-rapat dan melupakan perundingan isu pertanian dan menggantinya dengan isu-isu Singapura yang lebih mewakili kepentingan negara maju. 

 

Menurut koalisi, isu Singapura yang merupakan agenda negara maju satu per satu telah berhasil dimasukan ke dalam perundingan WTO, bahkan satu isu Singapura telah berhasil disepakati, yakni Perjanjian Trade Facilitation. Oleh karena itu, KTM ke-11 WTO akan kembali menjadi pertaruhan kedaulatan petani.

 

Apalagi, peluang praktik trade-off (mempertukar) kepentingan di dalam perundingan sangat besar yang pada akhirnya melupakan kepentingan petani Indonesia, dan sebaliknya memenangkan kepentingan agenda negara maju. 

 

Tags:

Berita Terkait