Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO
Berita

Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO

Karena dianggap tidak menguntungkan Indonesia. Undang-undang negara yang dibangun untuk melindungi masyarakatnya digugat untuk kepentingan korporasi negara maju.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

“Pusat Data dan Informasi KIARA menyebutkan pencabutan subsidi merupakan bentuk pemiskinan nelayan, di mana 60% biaya produksi nelayan melaut adalah mengakses BBM bersubsidi,” ujar Susan.

 

Di sisi lain keberadaan WTO telah menghilangkan kedaulatan negara, dimana aturan undang-undang negara yang dibangun untuk melindungi masyarakatnya digugat untuk kepentingan korporasi negara maju.

 

(Baca Juga: Australia Kenakan BMAD Kertas Fotokopi A4, Indonesia Layangkan Gugatan)

 

Masih hangat dibenak kita, pada November 2017 lalu, Indonesia dinyatakan kalah dalam appellate body WTO terkait kasus hortikultura dan produk ternak. Hal ini disebabkan karena UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan dinilai sebagai hambatan (barrier) dalam perdagangan.

 

Lebih jauh lagi, UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan yang telah menempatkan peran petani sebagai aktor vital dalam perekonomian bangsa dimana negara harus berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraannya. Namun, komitmen Indonesia dalam WTO sangat berlawanan dengan kedua undang-undang tersebut, sehingga kedaulatan pangan yang selama ini didengung-dengungkan pemerintahan Jokowi mustahil akan tercapai.

 

Selain itu, Indonesia for Global Justice mencatat, setidaknya sejak 2004 Indonesia sudah digugat 13 kali dan 12 kali menggugat. Pada umumnya gugatan itu berkaitan dengan isu pertanian dan peternakan. “Karena itu, jika memang timbangan untung rugi menunjukkan kita lebih banyak buntung lebih baik Indonesia keluar saja dari WTO,” ujar Direktur Eksekutif IGJ (Indonesia Global of Justice), Rachmi Hertanti.

 

Untuk itu, koalisi menilai, nasib petani kecil Indonesia selalu dipertaruhkan dalam perundingan WTO. Isu pertanian, sebagai salah satu agenda pembangunan Doha (Doha Development Agenda/DDA) masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai di dalam perundingan WTO.

 

Tidak pernah ada hasil perundingan yang memuaskan bagi petani, selain kegagalan demi kegagalan hasil perundingan pertanian yang selalu memenangkan kepentingan negara maju ketimbang petani kecil di negara berkembang. Apalagi kekalahan Indonesia dalam kasus hortikultura dan produk ternak di WTO yang telah diputus oleh Appellate Body WTO November 2017 yang lalu semakin menunjukan kalau WTO tidak bekerja untuk petani kecil Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait