Mantan Dirjen Depdagri Dituntut Lima Tahun Penjara
Berita

Mantan Dirjen Depdagri Dituntut Lima Tahun Penjara

Menurut pengacara terdakwa, seharusnya pasal yang didakwakan terdakwa adalah Pasal gratifikasi karena faktanya terdakwa menerima uang dari pihak luar dan bukan uang APBN.

ASh
Bacaan 2 Menit
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung <br> Mawardi dituntut hukuman penjara karena dinilai terbukti <br> korupsi dalam kasus Damkar. Foto: Sgp
Mantan Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung <br> Mawardi dituntut hukuman penjara karena dinilai terbukti <br> korupsi dalam kasus Damkar. Foto: Sgp

Tim jaksa yang dipimpin Sarjono Turin menuntut Oentarto Sindung Mawardi, mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Depdagri, selama 5 tahun penjara dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/12). Ia dianggap terbukti melakukan korupsi dengan menyalahgunakan kewenangannya terkait pengadaan mobil kebakaran dengan penunjukkan langsung untuk kepala daerah di seluruh Indonesia.

 

“Terdakwa Oentarto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sesuai dakwaan pertama,” kata jaksa Sarjono dalam kesimpulan tuntutannya.

 

Selain pidana penjara, terdakwa pun dituntut hukuman denda sebesar Rp200 juta subsider 8 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp50 juta subsider 3 bulan penjara.       

 

Seperti diketahui Oentarto didakwa melakukan korupsi saat menandatangani dan mengirim radiogram kepada gubernur, bupati dan walikota se-Indonesia. Radiogram itu berisi arahan agar setiap kepala daerah melakukan pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar) dengan merek dan tipe tertentu yang diproduksi PT Istana Sarana Raya milik Hengky Samuel Daud. Ia didakwa dengan dakwaan kumulatif melanggar Pasal 3 dan 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

 

Dalam tuntutannya, diuraikan bahwa radiogram yang dibuat atas permintaan Hengky tertanggal 13 Desember 2002 itu, dijadikan dasar pengiriman mobil damkar ke sejumlah daerah tanpa terlebih dahulu melakukan kontrak pengadaan dengan Hengky. Radiogram itu pun menjadi rujukan dalam setiap dokumen penawaran mobil damkar merek Tohatsu type V 80 ASM yang ditujukan ke beberapa daerah tanpa melalui mekanisme sesuai Keppres No. 18 Tahun 2000 dan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 

 

Selain itu, papar jaksa, Hengky yang juga pemilik PT Satal Nusantara (PT SN), mendapat bebas bea masuk impor mobil damkar jenis Morita sebanyak 5 unit lantaran surat-surat yang ditandatangani terdakwa. Diantaranya dua surat ditujukan ke menteri keuangan pada Januari dan April 2004 tentang Permohonan Bea Masuk, PPN, PPn BM, dan PPh 22 dan Dirjen Bea Cukai tentang Permohonan Pengeluaran Barang dan Jaminan, serta Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai. Padahal surat-surat yang terkait impor barang itu bukanlah kewenangan Oentarto.

 

Meski demikian, Departemen Keuangan melalui dua suratnya tertanggal 6 April 2004 dan 21 Juli 2004 menyetujui pemberian bea masuk PPN, Ppn BM, dan Pph 22 kepada 5 unit mobil damkar Morita seharga Rp6,06 miliar dan 3 unit Morita seharga Rp4,88 miliar. Selanjutnya, mobil damkar itu dijual kembali ke pemerintah daerah di Indonesia. Sebagai balas jasa, terdakwa menerima uang sebesar Rp200 juta dari Hengky.

 

“Dari fakta itu, perbuatan terdakwa menandatangani radiogram dan surat permohonan bebas bea masuk untuk kepentingan Hengky, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan menyalahgunakan jabatan terpenuhi,” kata jaksa

 

Atas perbuatan Oentarto, lanjutnya, negara dalam hal ini pemerintah daerah di 19 daerah  mengalami kerugian sebesar Rp65,2 miliar untuk pengadaan mobil damkar jenis Tohatsu V 80 ASM dan sebesar Rp10,9 miliar untuk impor 8 mobil damkar jenis Morita melalui PT SN. “Total kerugian negara berjumlah Rp76,2 miliar yang menguntungkan Hengky selaku pemilik PT SN,” simpulnya.    

 

Terkait uang pengganti dalam hal penerimaan uang sebesar Rp200 juta dari Hengky, menurut jaksa kerugian itu dikurangi uang yang telah dikembalikan terdakwa ke KPK sebesar Rp150 juta.  Karenanya, jumlah uang yang harus dipertanggungjawabkan terdakwa sebesar Rp50 juta.  

 

Bukan gratifikasi

Usai sidang kuasa hukum terdakwa, Alamsyah Hanafiah mempertanyakan kesimpulan jaksa dimana kliennya terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara, bukan didakwa pasal gratifikasi. “Kalau dakwaannya menerima uang dari pihak luar (bukan pegawai negeri) dan bukan uang APBN, berarti dakwaan itu tidak tepat,” kata Alamsyah.

 

Menurutnya, jika menerima keuntungan (uang) dari pihak luar seharusnya pasal yang diterapkan adalah pasal gratifikasi (pemberian) yang tercantum dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999. “Tetapi kenapa klien saya tidak didakwa dengan pasal 3 dan 11 UU No. 31 Tahun 1999,” keluhnya.     

 

Pengacara Oentarto yang lain, Firman Wijaya menilai tuntutan jaksa sangat diskriminatif dan tak adil. Pasalnya, mantan Mendagri Hari Sabarno hingga kini tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. Padahal, lanjut Firman, dari fakta dan bukti di persidangan terlihat jelas peran dan keterlibatan Hari dalam perkara pengadaan mobil pemadam kebakaran ini.

 

Sidang yang dipimpin hakim Tjokorda Rai Suamba ditunda Senin pekan depan (21/12) untuk memberi kesempatan terdakwa Oentarto mengajukan pledoi (pembelaan).              

Tags:

Berita Terkait