Majelis: Berita Tempo Tendensius dan Menjelek-Jelekkan Tomy Winata
Utama

Majelis: Berita Tempo Tendensius dan Menjelek-Jelekkan Tomy Winata

Penasehat hukum majalah Tempo Todung Mulya Lubis sangat menyayangkan pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan gugatan Tomy Winata. Apa saja pertimbangan hukum majelis yang menarik untuk disimak? Inilah sebagian transkrip putusan yang dinilai banyak kalangan menjadi simbol bagi pengekangan pers.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Disamping itu, dari pertimbangan hakim terungkap bahwa kejaksaan ternyata tidak mengajukan banding atau pun kasasi atas putusan perkara pidana dengan terdakwa Teddy Uban atau Hidayat Lukman, anak buah Tomy yang dipersalahkan melakukan penyerbuan ke kantor majalah Tempo pada 8 Maret 2003. Padahal, saat putusan, kejaksaan menyatakan akan mengajukan banding. Dari uraian majelis terungkap bahwa jaksa ternyata tidak mengajukan upaya hukum apapun, sehingga perkaranya telah  inkracht.

 

Lima persoalan berita

Mengutip argumen penggugat, majelis hakim mengurai lima masalah yang tercantum dalam tulisan majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 berjudul ‘Ada Tomy di Tenabang?'. Pertama, adalah soal lead berita konon Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp35 miliar. Proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran.

 

Majelis menjelaskan bahwa penggugat berhasil membuktikan bantahannya bahwa tidak ada proposal dimaksud. Sebaliknya, para tergugat tidak berhasil membuktikan adanya proposal. Penggunaan kata ‘konon' dihubungan dengan kalimat ‘proposalnya sudah diajukan' mengandung arti bahwa Tomy Winata  berada di balik kebakaran Pasar Tanah Abang. Kata majelis, yang menyesatkan adalah judul berita Tempo tidak sesuai dengan  isi. Majelis pun mengutip kesaksian Prof. Anton M Moeliono bahwa kata konon jarang dipakai oleh orang Indonesia.

 

Kedua, istilah pemulung besar. Mengutip argumen penggugat, majelis menyatakan bahwa Tomy adalah pengusaha yang dikenal luas di masyarakat dan sukses di bidang perbankan dan properti. Ia tidak memungut dan memanfaatkan barang-barang bekas sisa kebakaran.

 

Sebenarnya majelis hakim sependapat bahwa istilah pemulung besar bukan dalam arti sebenarnya. Tetapi, mengutip saksi ahli DR Rahayu S. Hidayat, dengan sebutan itu seolah-olah Tomy diibaratkan sebagai pemulung. Dengan sebutan itu, papar majelis, akan timbul konotasi dan persepsi dari pembaca bahwa Tomy-lah yang kelak menangguk keuntungan dari terbakarnya Pasar Tanah Abang. Jadi, tulisan Tempo berisi fitnah dan pencemaran nama baik.

 

Ketiga, kalimat pengusaha Group Artha Graha itu, kata seorang kontraktor arsitektur kepada Tempo, …dst. Majelis berpendapat bahwa tulisan Tempo hanya didasarkan pada keterangan seorang narasumber. Lantaran proposalnya tidak ada, maka para tergugat tidak melakukan cek dan ricek demi kebenaran, ketepatan dan keakuratan berita. Para tergugat telah melakukan pemutarbalikan fakta, mencampuradukkan fakta dan opini serta melanggar asas praduga tidak bersalah, urai hakim Sunaryo, yang membacakan sendiri putusan dari awal hingga selesai.

 

Keempat, kalimat di situ kios-kios bikinan Tomy rencananya akan dijual Rp175 juta per meter persegi dan baru diserahkan ke PD Pasar Jaya 20 tahun kemudian. Dalam persidangan Tomy menyangkal hendak mendirikan kios-kios dimaksud. Sehingga menurut majelis, berita yang ditulis majalah Tempo tidak berdasarkan data atau fakta yang valid.

Tags: