Mahfud MD Siap Adu Argumen, Siap Dissenting Opinion
Berita

Mahfud MD Siap Adu Argumen, Siap Dissenting Opinion

Mengaku sering berbeda pendapat dengan Jimly Assiddiqie. Termasuk mengenai kewenangan hakim dalam membuat putusan yang ultra petita.

Ali
Bacaan 2 Menit
Mahfud MD Siap Adu Argumen, Siap <i>Dissenting Opinion</i>
Hukumonline

 

Mahfud mengibaratkan hakim konstitusi seperti pelatih renang. Betapa pintar berteori, kalau tidak praktek, pasti tenggelam juga. Saya akan belajar dari yang paling dangkal, janjinya.

 

Selain itu, Mahfud mengakui sebagai hakim konstitusi ia tak mempunyai program. Bagi dia, hakim tak boleh punya program. Fungsi seorang hakim yang berada di ranah yudikatif berbeda dengan eksekutif. Di eksekutif, semakin banyak program, maka semakin bagus. Seorang hakim konstitusi, lanjut Mahfud, gerak-geriknya dibatasi oleh Undang-Undang dan UUD 1945. Tak perlu melanggar UU, tuturnya.

 

Terkait hal ini, Mahfud memang sempat mengkritik beberapa putusan MK yang memutus secara ultra petita (melebihi apa yang dimohonkan oleh pemohon). Ia berulang kali berargumen bahwa tindakan itu menabrak hukum acara MK. Sikapnya mengenai ultra petita pun masih tetap sampai saat ini. Prinsip saya, ultra petita itu tak bisa, imbuhnya. Pasalnya, dengan memutus secara ultra petita, maka MK sudah memasuki ranah legislatif.

 

Namun, sikapnya mengenai ultra petita tak setegas dulu. Mahfud mengaku masih perlu melihat kasus per kasus. Di samping itu, ia juga akan melihat pendapat hakim lain dalam permusyawaratan majelis. Ia pun mengaku siap beradu argumentasi, bahkan membuat pendapat berbeda (dissenting opinion) sebagai jalan terakhir. Saya sebenarnya paling siap aklamasi untuk meyakinkan hakim konstitusi yang lain. Kalau tak bisa juga, ya dissenting opinion, jelasnya.

 

Mahfud mengakui dalam berbagai kesempatan ia kerap berbeda pendapat dengan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Saya dengan Pak Jimly sering berbeda pendapat di forum seminar kampus tentang putusan MK, ungkapnya. Tapi, lanjutnya, nanti akan ada kode etik yang mengunci agar perbedaan pendapat itu tidak menimbulkan problem.

 

Jimly pun berpendapat senada. Meski Mahfud sering mengkritik putusan MK, menurutnya tak akan menjadi kendala. Nanti kan ada pendapat 9 orang. Bukan pendapat satu orang saja, ujarnya diplomatis.

 

Wakil Ketua MK Laica Marzuki melihat hal yang sama. Menurutnya, pendapat-pendapat Mahfud bisa menjadi cakrawala pembanding dalam rapat permusyawaratan hakim.

 

Sepenggal Pemikiran Mahfud

 

Dalam bukunya yang berjudul ‘Politik Hukum di Indonesia', Mahfud sudah hak menguji materil UU terhadap UUD' 45 secara gamblang. Buku ini terbit tahun 1998, jauh sebelum MK lahir. Kala itu, Mahfud menganalisis tiga lembaga yang mungkin menjalankan fungsi yang bertujuan mewujudkan checks and balances dalam trias politica. Ketiga lembaga itu adalah MPR, MA, atau lembaga khusus seperti MK.

                                                                                                                                  

Pernah meminta calon pimpinan KPK Marwan Effendy mengesampingkan UU dalam melaksanakan penegakan hukum. Menurutnya, di banyak negara, banyak hakim yang melanggar UU untuk menegakan hukum. Ia berargumen bahwa UUD' 45 memungkinkan hal tersebut. Saat ini, kita tak hanya mengenal rechtstaat (negara hukum) saja. Tetapi juga rule of law, ujarnya kala itu.

 

Memberi sepuluh rambu pantangan untuk hakim konstitusi saat fit and proper test di DPR. Pertama, hakim konstitusi tak boleh membuat putusan yang sifatnya mengatur. Kedua, tak boleh membuat ultra petita. Ketiga, tak boleh mendasarkan putusan pada UU. Keempat, tak boleh mengintervensi delegasi perundang-undangan dan atribusi kewenangan. Kelima, tak boleh memutus perkara berdasarkan teori. Keenam, tak boleh melanggar azas nemo judex in causa sua (memutus hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. Ketujuh, tak boleh mengomentari perkara yang masih disidangkan di depan publik. Kedelapan, tak boleh mencari atau menganjurkan orang untuk berperkara. Kesembilan, tak boleh ikut campur dalam urusan politik. Kesepuluh, tak boleh beropini tentang eksistensi UUD.

 

 

Menjaga independensi

Kehadiran Mahfud sebagai orang partai politik di MK sempat dikritik oleh sejumlah kalangan di antaranya adalah gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk MK (AMUK). Mahfud siap menjawab keraguan-keraguan tersebut.

 

Mahfud mempersilahkan masyarakat untuk menilai kinerjanya. Namun, ia menegaskan independen bukan berarti memusuhi parpol. Saya tak akan tunduk pada tekanan LSM dan Pers, tegasnya. Independen itu terhadap sesuatu yang saya yakini benar, tambahnya memberi tamsil.

 

Terkait posisinya sebagai mantan anggota PKB, Mahfud mengatakan itu bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Ia menyatakan saat ini jaraknya sama dengan parpol yang lain. Saya kan dipilih oleh semua parpol. PKB hanya punya 5 kursi, sedangkan saya dapat 38 suara, jelasnya.

 

Anggota Komisi III DPR Patrialis Akbar yakin Mahfud akan bertindak netral dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. Dia sudah bersumpah pada saat fit and proper test, ujarnya. Kalau Mahfud tak netral, maka ia harus mundur sebagai hakim konstitusi.

 

Kedekatan Mahfud dengan Gus Dur, juga tak dibantah oleh Patrialis. Itu persoalan pribadi, imbuhnya. Tetapi, lanjutnya, kalau Mahfud macam-macam maka label negarawannya akan luntur. Sebagai catatan, Gus Dur kerap diundang sebagai ahli dari pemohon yang menajukan uji materi. Salah satunya adalah uji materi UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, walau akhirnya Gus Dur batal datang.

 

Terkait pengujian UU Perfilman, Mahfud punya catatan tersendiri. Ia mengatakan akan berbicara dengan delapan hakim konstitusi yang lain. Saya sedikit memiliki conflict of interest, akunya. Saat persidangan memasuki agenda mendengarkan keterangan DPR, Mahfud hadir mewakili DPR. Kala itu, saya mengatakan bahwa sensor itu sah. Tidak bertentangan dengan konstitusi, tambahnya. Ia mengaku ikut membuat dan menandatangani keterangan DPR itu. Kalau saya memutuskan (sebagai hakim konstitusi,-red) sudah pasti sikap saya seperti itu.

 

Pria berlogat Madura itu maju ke podium. Para hadirin mendengarkan perkataannya dengan seksama, diselengi tawa kecil karena joke yang dia buat. Maklum saja, pria yang berprofesi sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) ini memang tengah menjadi pusat perhatian malam itu, Selasa (1/4). Pria itu adalah Mahfud MD, sang pengawal konstitusi yang baru. Sejak saat itu, Mahfud menggantikan Achmad Roestandi sebagai hakim konstitusi. Roestandi memasuki usia pensiun.

 

Awalnya, Mahfud bercerita asal muasal dua huruf ‘MD' di belakang namanya. Dulu di SLTP, nama Mahfud di kelas saya ada tiga orang, tuturnya. Sang guru pun memberi tiga huruf A, B, dan C di belakang masing-masing nama tiga Mahfud. Mantan politis dari Partai Kebangkitan bangsa ini kebagian huruf B. Entah karena apa, tiga huruf secara abjad sebagai pembeda itu pun berubah. Tiga Mahfud mencantumkan nama ayahnya masing-masing di belakang namanya.

 

Nama ayah saya adalah Mahmudin, ujarnya. Sehingga namanya pun berubah menjadi Mahfud Mahmudin. Mungkin karena namanya dianggap kurang komersil, Mahfud pun menyingkat nama ayahnya tersebut. Jadilah Mahfud MD, ujarnya. Cerita ini disambut antusias oleh mantan rekan-rekannya di Komisi III DPR. Maklum saja, Mahfud baru kali ini menjelaskan asbabul nuzul dari huruf ‘MD' di belakang namanya.

 

Setelah bercerita ringan, pembicaraan Mahfud semakin meninggi. Ia mengungkapkan kebiasaannya dalam membaca buku-buku teori hukum baru. Setiap hari selama 25 tahun, saya sudah melakukan itu, ujar dosen Universitas Islam Indonesia (UII) ini. Karena itu pula, setelah menjadi hakim konstitusi, ia merasa tak perlu lagi meluangkan waktu khusus untuk membaca buku mengenai teori hukum. Yang saya butuhkan adalah pengalaman dari teman-teman hakim yang lain, ungkapnya.

Tags: