MA Kembali Desak Revisi Aturan Fee Kurator
Utama

MA Kembali Desak Revisi Aturan Fee Kurator

Ketentuan yang tegas tentunya tidak akan membingungkan dalam pembebanan imbalan jasa kurator dan tidak akan menimbulkan perbedaan pendapat, apalagi UU Kepailitan tak membuka upaya hukum bagi penetapan honor kurator.

Ali/Abdul Razak Asri/IHW
Bacaan 2 Menit
Rakernas MA kembali desak revisi aturan fee kurator.<br> Foto: ASh
Rakernas MA kembali desak revisi aturan fee kurator.<br> Foto: ASh

Enam tahun sudah UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diterbitkan. Namun, masih ada amanat UU ini yang belum dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya Menteri Hukum dan HAM. Khususnya, terkait imbalan jasa atau fee kurator (orang yang bertugas mengurus harta pailit).

 

Pasal 75 UU ini menyebutkan besarnya imbalan jasa kurator ditentukan setelah kepailitan berakhir. Pasal 76 berbunyi ‘besarnya imbalan jasa yang harus dibayarkan kepada kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Keputusan Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan perundang-undangan’. Dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM.

 

Ketua Muda Perdata Khusus MA Mohammad Saleh secara khusus membahas isu ini dalam Rakernas MA 2010 di Balikpapan, Kalimantan Timur. “Sampai saat ini hampir enam tahun sejak berlakunya UU No.37 Tahun 2004 ini, peraturan pelaksanaan dari Pasal 76 tersebut belum ada,” tulisnya dalam makalah.

 

Saleh menjelaskan selama ini pedoman yang digunakan adalah Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus. Aturan ‘kuno’ ini tentu sudah out of date karena terbit sebelum adanya UU No.37 Tahun 2004 tersebut.

 

SK Menkeh ini diterbitkan masih mengacu kepada beleid kepailitan yang lama, yakni Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan. Perpu ini, lalu, berubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 setelah disetujui oleh DPR. Namun, UU ini telah dicabut pada November 2004 setelah diterbitkannya UU Kepailitan yang terbaru (UU No.37 Tahun 2004).

 

Lalu apakah SK Menkeh itu masih sejalan dengan UU No.37 Tahun 2004? Saleh secara tegas menjawab tidak. Dua aturan itu bahkan saling bertentangan. Ia mengutip Pasal 2 ayat (1) huruf c SK Menkeh itu yang menyatakan "dalam hal permohonan pailit ditolak di tingkat kasasi atau peninjauan kembali, besarnya imbalan jasa ditetapkan oleh hakim dan dibebankan kepada debitur".

 

Sedangkan, Pasal 17 ayat (3) UU No.37 Tahun 2004 berbunyi "dalam hal putusan kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan pailit maka imbalan jasa kurator dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit atau kepada pemohon dan debitur dalam perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim tersebut".

Tags:

Berita Terkait