MA Diminta Terbitkan SEMA Pendampingan Korban
Utama

MA Diminta Terbitkan SEMA Pendampingan Korban

Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini tidak mengatur tentang pendampingan bagi korban.

Nay
Bacaan 2 Menit
MA Diminta Terbitkan SEMA Pendampingan Korban
Hukumonline

 

Saat ini, dengan telah adanya pasal 18 UU Perlindungan Anak yang memberi hak pada anak yang menjadi korban untuk didampingi, dan adanya pasal 10 UU KDRT, Erna tidak melihat ada alasan bagi hakim untuk menolak pendampingan korban.

 

Senada dengan Erna, Hakim PN Jakarta Pusat, Ridwan Mansyur menyatakan bahwa dasar hukum bagi hakim untuk mengizinkan pendampingan korban adalah Hak Asasi Manusia. "Kalau tidak dilarang, demi mendapat fakta yang sebenarnya mengapa tidak," ucap Ridwan yang mengizinkan pendamping dalam persidangannya.

 

Sementara itu, Ratna Batara Munti, Koordinator LBH Apik Jakarta menyatakan bahwa SEMA diperlukan sebagai upaya penguatan tingkat internal kehakiman. "Tapi jangan dipahami bahwa kita tergantung SEMA, bahwa kalau tidak ada SEMA lantas kita tidak bisa," terang Ratna.

 

Pasalnya, telah ada undang-undang yang membolehkan pendampingan seperti UU Perlindungan Anak dan dalam kasus KDRT. "Tidak pernah ada aturan yang secara eksplisit melarang. Itu artinya tetap ada peluang untuk proaktif membolehkan seperti yang dilakukan oleh Pak Hakim Ridwan dan hakim lain yang memang sudah responsif. Jangan seolah-olah kita menunggu SEMA untuk melakukan itu, karena tidak ada alasan untuk menunggu SEMA," demikian Ratna.

Namun, sampai saat ini, permintan tersebut belum direspon oleh MA. Hal ini dikemukakan oleh Deliana Sayuti Ismudjoko, Wakil Ketua Komnas Perempuan dalam diskusi publik tentang sistem peradilan pidana yang berkeadilan jender dalam penanganan kasus kekerasan Terhadap Perempuan dalam kompetisi moot court, Kamis (24/3).

 

Menurut Deliana, pihaknya sudah beberapa kali melobby MA , namun respon yang didapat belum menggembirakan. Bahkan, salah seorang Ketua Muda menyatakan, meski   pasal 10 butir d UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyatakan korban berhak atas pendampingan oleh pekerja sosial, namun disebutkan bahwa hal itu dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ia beralasan, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini tidak mengatur tentang pendampingan bagi korban.

 

Bahkan, ada yang menganggap permintaan untuk menempatkan pendamping di ruang sidang bagaikan mengubah sistem hukum yang ada di KUHAP, karena dalam KUHAP, saksi tidak didampingi, kecuali ia punya pengacara.

 

Sebagai mantan hakim, Deliana berpandangan diperlukan pengaturan dari MA tentang pendampingan korban, meskipun UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun UU PKDRT telah mengatur hal tersebut. "Kalau kita anggap untuk pendampingan itu sudah oke semua (karena sudah ada dalam UU), kita salah. Nanti pengacara , kuasa hukum terdakwa pasti protes," ujarnya.

 

"Lagipula yang  sudah ada di PKDRT dan perlindungan anak, kalau kasusnya diluar itu, kan berarti pendamping belum boleh, karena itu kita mohon agar SEMA pendampingan korban itu berlaku untuk semua kasus-kasus kekerasan perempuan diluar yang sudah ada".

 

Tidak ada alasan

Sebelumnya, anggota Komisi Ombudsman Nasional yang juga mantan hakim, Erna Sofwan Sjukrie menceritakan bahwa sejak tahun 1997, sebagai Wakil Ketua PT Lampung ia telah memanggil hakim di Lampung dan memberitahu bahwa pendampingan korban di pengadilan diperkenankan. "Pendamping kan hanya duduk manis dan tidak sebagai pembela," cetusnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: