LSM Law Firm Uji Materi Aturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian
Terbaru

LSM Law Firm Uji Materi Aturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian

Hakim konstitusi diminta memberi interpretasi terhadap ketentuan pencemaran nama baik dan hasutan kebencian melalui media elektronik. Sebab tidak jelasnya rumusan kedua tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Dia meminta hakim konstitusi memberikan interpretasi terhadap ketentuan pencemaran nama baik dan hasutan kebencian itu sehingga tidak disalahgunakan. Sebab praktiknya selama ini kedua pasal tersebut dapat menjerat kalangan masyarakat sipil dari beragam latar belakang baik itu aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan politisi. Hakim konstitusi melalui putusannya nanti diharapkan dapat memberikan interpretasi secara konstitusional.

“Menjamin kebebasan berpendapat, bukan malah (Pasal 27A jo Pasal 45, dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE,-red) menjadi alat politik untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan kekuasaan,” ujarnya

Menurut Todung, MK harus membuat interpretasi Pasal 27A jo Pasal 45, dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE secara ketat. Tujuannya agar aturan itu tidak digunakan untuk membungkam publik yang menyatakan pendapat. Termasuk yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Sekalipun UU ITE sudah berulang kali diuji, tapi putusan yang lahir dari palu hakim konstitusi itu belum ada yang memberi hasil sesuai harapan publik.

Associates LSM Law Firm, Damian Agata Yuvens menambahkan dalam petitum permohonan setidaknya terkait 2 hal. Pertama, terkait ketentuan Pasal 27A jo Pasal 45 hakim konstitusi diminta untuk menentukan siapa saja yang bisa menjadi ‘korban’ pencemaran nama baik.

Sekalipun UU ITE sudah memberikan panduan, tapi perlu dipertegas agar beberapa pihak dikecualikan seperti badan hukum, lembaga pemerintahan, kelompok, pejabat, dan tokoh atua figur publik. Kemudian memperjelas ketentuan pencemaran nama baik dan penghinaan sebab fokusnya dalam hal ‘melakukan perbuatan’.

“Beberapa pihak itu perlu dikecualikan sebagai korban agar tidak memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi,” usulnya.

Kedua, hasutan kebencian sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE sangat rancu dan tak sesuai dengan mandat kovenan sipil dan politik. Damian meminta MK setidaknya merumuskan agar ketentuan itu sesuai standar dan tujuan kovenan sipil dan politik.

Damian mengusulkan Pasal 45 ayat (2) UU ITE berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja mendistribusikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang merupakan hasutan kebencian untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan atas dasar ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar”.

Kuasa hukum lainnya, Leonard Arpan, menjelaskan yang jadi fokus pengujian kali ini adalah tidak jelasnya rumusan kedua tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum. Rumusan itu tidak memenuhi standar pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur hukum internasional dan telah diadopsi melalui UUD 1945.

“Harapan kami MK bisa melihat permasalahan yang kami lihat, dan karenanya memberikan tafsir terhadap Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) serta Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE sebagaimana yang kami minta,” imbuh Leonard.

Tags:

Berita Terkait