LSM Law Firm Uji Materi Aturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian
Terbaru

LSM Law Firm Uji Materi Aturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian

Hakim konstitusi diminta memberi interpretasi terhadap ketentuan pencemaran nama baik dan hasutan kebencian melalui media elektronik. Sebab tidak jelasnya rumusan kedua tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pendiri sekaligus senior partner LSM Law Firm, Todung Mulya Lubis diapit Associates LSM Law Firm, Damian Agata Yuvens dan Leonard Arpan saat memberikan keterangan pers sesuai mendaftar uji materi UU ITE di Gedung MK. Foto: ADY
Pendiri sekaligus senior partner LSM Law Firm, Todung Mulya Lubis diapit Associates LSM Law Firm, Damian Agata Yuvens dan Leonard Arpan saat memberikan keterangan pers sesuai mendaftar uji materi UU ITE di Gedung MK. Foto: ADY

Tak sedikit kalangan masyarakat sipil yang dijerat pasal pencemaran nama baik dan hasutan kebencian sebagaimana diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diperbarui melalui UU No.1 Tahun 2024.

Salah satunya aktivis lingkungan hidup, Daniel First Maurits Tangkilisan yang divonis 7 bulan pidana penjara. Kemudian Pengadilan Tinggi Semarang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jepara itu dengan putusan yang intinya melepaskan Daniel dari semua tuntutan hukum.

Kasus yang menimpa Daniel itu mendorong Lubis, Santosa & Partner (LSM Law Firm) menguji materil UU ITE dengan mendaftarkannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kantor hukum yang salah satunya besutan Todung Mulya Lubis itu bertindak sebagai kuasa hukum Daniel.

Pendiri sekaligus senior partner Kantor Hukum LSM, Todung Mulya Lubis mengatakan Daniel merupakan aktivis lingkungan hidup di wilayah Karimunjawa. Daniel aktif bersama masyarakat sipil lainnya memprotes limbah hasil tambak udang yang berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Kegigihan dan kritik Daniel yang dilakukan salah satunya melalui media sosial berujung kriminalisasi. Todung melihat kriminalisasi yang menjerat Daniel menjadi isu yang disorot tajam kalangan masyarakat sipil.

“Kami mengajukan permohonan pengujian terhadap ketentuan pencemaran nama baik Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) UU ITE dan hasutan kebencian Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE,” ujarnya usai mendaftarkan permohonan uji materi UU ITE di Gedung MK, Senin (29/7/2024).

Baca juga:

Dia meminta hakim konstitusi memberikan interpretasi terhadap ketentuan pencemaran nama baik dan hasutan kebencian itu sehingga tidak disalahgunakan. Sebab praktiknya selama ini kedua pasal tersebut dapat menjerat kalangan masyarakat sipil dari beragam latar belakang baik itu aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan politisi. Hakim konstitusi melalui putusannya nanti diharapkan dapat memberikan interpretasi secara konstitusional.

“Menjamin kebebasan berpendapat, bukan malah (Pasal 27A jo Pasal 45, dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE,-red) menjadi alat politik untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan kekuasaan,” ujarnya

Menurut Todung, MK harus membuat interpretasi Pasal 27A jo Pasal 45, dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE secara ketat. Tujuannya agar aturan itu tidak digunakan untuk membungkam publik yang menyatakan pendapat. Termasuk yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Sekalipun UU ITE sudah berulang kali diuji, tapi putusan yang lahir dari palu hakim konstitusi itu belum ada yang memberi hasil sesuai harapan publik.

Associates LSM Law Firm, Damian Agata Yuvens menambahkan dalam petitum permohonan setidaknya terkait 2 hal. Pertama, terkait ketentuan Pasal 27A jo Pasal 45 hakim konstitusi diminta untuk menentukan siapa saja yang bisa menjadi ‘korban’ pencemaran nama baik.

Sekalipun UU ITE sudah memberikan panduan, tapi perlu dipertegas agar beberapa pihak dikecualikan seperti badan hukum, lembaga pemerintahan, kelompok, pejabat, dan tokoh atua figur publik. Kemudian memperjelas ketentuan pencemaran nama baik dan penghinaan sebab fokusnya dalam hal ‘melakukan perbuatan’.

“Beberapa pihak itu perlu dikecualikan sebagai korban agar tidak memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi,” usulnya.

Kedua, hasutan kebencian sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE sangat rancu dan tak sesuai dengan mandat kovenan sipil dan politik. Damian meminta MK setidaknya merumuskan agar ketentuan itu sesuai standar dan tujuan kovenan sipil dan politik.

Damian mengusulkan Pasal 45 ayat (2) UU ITE berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja mendistribusikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang merupakan hasutan kebencian untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan atas dasar ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar”.

Kuasa hukum lainnya, Leonard Arpan, menjelaskan yang jadi fokus pengujian kali ini adalah tidak jelasnya rumusan kedua tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum. Rumusan itu tidak memenuhi standar pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur hukum internasional dan telah diadopsi melalui UUD 1945.

“Harapan kami MK bisa melihat permasalahan yang kami lihat, dan karenanya memberikan tafsir terhadap Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) serta Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE sebagaimana yang kami minta,” imbuh Leonard.

Tags:

Berita Terkait