Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita *)
Kolom

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita *)

Praduga tersebut selanjutnya berhenti ketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian?

Bacaan 2 Menit

 

Standar yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan, menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang yang tidak bersalah dihukum”. Standar tinggi sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka/terdakwa.

 

Sebaliknya sistem hukum kedua (Civil Law), berpandangan prinsipnya tersangka/terdakwa sudah dinyatakan bersalah kecuali dibuktikan sebaliknya. Rasio dari pandangan tersebut adalah negara (jaksa penuntut umum) tidak akan membawa seseorang tersangka/terdakwa ke hadapan pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka. Secara lebih jelas, dikatakannya, ”The rationale for the presumption of guilt is that the state would not bring charges unless it were certain of the defendant’s guilt. In this approach, the prosecutor helps strike the balance between convicting the innocent and failing to convict the guilty. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa,”the Court acknowledge its confidence in the prosecutor by proceeding under the a presumption that the prosecutor was right unless the defendant prove otherwise”.[10]

 

Berangkat dari pendapat dan pandangan kedua sistem hukum tersebut di atas, maka rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah yang disarankan penulis di atas masuk akal, proporsional, serta sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.[11]  Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan, selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. UU tersebut sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[12]

 

Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan itu, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius didakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6 (enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan tersangka atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tersebut kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[13]

   

Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang dirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Selain itu juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

*) Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran



[1] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model  antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].

[2] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81

[3] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30

[4] ibid

[5] Catherine Elliot, “The French Criminal Law.; 2001;p.11-12

[6] John Braithwaite,di dalam karyanya, ”Crime, Shame and Reintegration” (1989)  menyebutkan  antara lain: “stigmatization is disintegrative shaming in which no effort is made to reconcile the offender with the community. The offender is outcast, her deviance is allowed to become a master status, degradation ceremonies are not followed by ceremonies to decertify deviance”(page 101).

[7] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal  Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan

[8] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.

[9] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003:dan  Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.

[10] Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An Introduction  of Law and  Economics; Third Edition, Addison-Wesley; 2000; page 431

[11] Konsep Keadilan Aristoteles, yang menerangkan kesetaraan absolut,  antara “damage” dan “compensation”, yang disebut olehnya sebagai “Commutative Justice”; dan kesetaraan relatif antara ”reward and punishment”, sebagai ”Distributive Justice”.(Dikutip dari, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch,and Dabin”; Harvard University Press; 1950; page 74).

[12] P.J.P.Tak, op.cit, p.21

[13] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.

Tags:

Berita Terkait