Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita *)
Kolom

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita *)

Praduga tersebut selanjutnya berhenti ketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian?

Bacaan 2 Menit

 

Pasal 1. butir II HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[5] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established.” (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).

 

Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tersebut, sebagaimana disebutkan: “Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.

 

Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansi memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi (Braithwaite, 1989).[6] Berkaitan dengan pemaknaan tersebut, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.

 

Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka  konsep tersebut menganut paradigma individualistik[7] yang melindungi hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection) dan mengabaikan  perlindungan atas  hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan itu.[8]

 

Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tersebut tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep  tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.

 

Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitu pula, di Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu –masyarakat demokratis. 

 

Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon),  justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.

Tags:

Berita Terkait