Pada medio tahun 2023 lalu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan survei terhadap Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, survei ini dilatarbelakangi oleh fenomena konsumsi MBDK yang kian mengkhawatirkan. Saat ini MBDK seolah sudah menjadi tradisi bahkan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan minuman manis dianggap suatu nilai lebih dan kemewahan, dari pada air putih atau sekadar teh tawar hangat.
Kini fenomena minuman manis makin kuat dan menjadi kegandrungan masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, remaja, dan generasi muda. Penguatan fenomena ini disebabkan adanya intervensi korporasi melalui iklan, promosi, dan sponsorship di semua lini media. Dengan gempuran iklan dan promosi ini makin meneguhkan bahwa minuman manis menjadi ikon dalam berkonsumsi, bahkan dalam pergaulan sosial.
YLKI pun melakukan survei di 10 kota di Indonesia, meliputi: Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar dan Kupang. Survei dilakukan dengan cara wawancara, pemilihan responden secara acak berjenjang, dari mulai tingkat kelurahan, RT/RW, kemudian memilih rumah tangga, dan memilih individu. Responden adalah orang yang pernah mengonsumsi minuman manis dalam kemasan dalam sebulan terakhir. Total responden yang terjaring adalah 800 responden, dan masing masing RT dijaring 10 responden.
Baca Juga:
- Sepanjang 2023, Pengaduan Konsumen ke BPKN Didominasi Sektor Perumahan
- Mendorong Pergerakan Nasib Revisi UU Perlindungan Konsumen
Dari hasil survei tersebut, Tulus mengungkapkan beberapa fakta yang menarik. Pertama, anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Terbukti 1 dari 4 (25,9 persen) anak usia kurang dari 17 tahun mengkonsumsi MBDK setiap hari, bahkan 1 dari 3 (31,6 persen) anak mengkonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu. Tentu ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan.
Kedua, mudahnya akses pembelian MBDK menjadi salah satu pemicu utama anak dan remaja mengkonsumsi MBDK. MBDK sangat mudah diakses dan bisa dibeli dalam jarak 2 sampai 10 menit. Responden membeli MBDK via warung (38 persen), minimarket (28 persen), supermarket (17 persen), dan akses lainnya (termasuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, lalu fasilitas umum lainnya seperti sekolah) sebesar 18 persen.
Ketiga, selain akses pembelian yang sangat mudah, aspek motivasi menjadi faktor penentu bagi anak dan remaja dalam mengkonsumsi MBDK. Hasil survei menunjukkan, rasa penasaran menjadi faktor yang paling tinggi sebesar 32,4 persen, kemudian disusul faktor enak rasanya sebesar 27,1 persen, dan faktor ketiga adalah aspek harga sebesar 14,4 persen.