Lima Usulan Tingkatkan Daya Saing Industri Garmen Indonesia
Berita

Lima Usulan Tingkatkan Daya Saing Industri Garmen Indonesia

Mulai menyelesaikan perjanjian dagang Indonesia-Uni Eropa untuk menurunkan bea masuk produk tekstil Indonesia ke Uni Eropa, menurunkan impor produk tekstil, mendorong penerapan teknologi terkini, meningkatkan produktivitas pekerja melalui peningkatan keterampilan dan dialog sosial.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap perekonomian global termasuk Indonesia. Industri manufaktur, seperti garmen dan tekstil juga terpukul. Lalu, bagaimana kondisi industri garmen khususnya di Kawasan ASEAN, seperti Indonesia dan Vietnam?    

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Sari Wahyuni, mengatakan tahun 2019 Indonesia dan Vietnam masuk 10 besar negara eksportir pakaian di tingkat global. Tingkat ekspor garmen kedua negara mencapai US$ 48,8 miliar. Sekalipun diterjang badai pandemi Covid-19, industri manufaktur berkontribusi 19,98 persen terhadap PDB. Industri ini mempekerjakan 18,5 juta buruh, dan 22 persen tenaga kerja itu diserap industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Perkembangan investasi industri TPT di Indonesia, menurut Sari meningkat 35 persen dari tahun 2017 dan tumbuh sampai 20,71 persen pada semester II tahun 2019. Pertengahan dekade 2010, industri garmen internasional menyasar Indonesia untuk pemindahan pengadaan pakaian jadi dari China. Jawa Tengah menawarkan pasokan tenaga kerja dengan upah 40 persen dari Jakarta dan menjanjikan perselisihan hubungan industrial rendah.

Sari mencatat periode 1990-2010 pertumbuhan industri tekstil di Vietnam meningkat tajam. Sedangkan di Indonesia cenderung landai. Salah satu sebab karena produk Vietnam yang masuk Uni Eropa dikenakan bea masuk 0 persen, dan Indonesia dikenakan 11 persen. Selain itu, teknologi tekstil Indonesia mengalami penurunan. “Jika ini tidak dibenahi, maka sulit mengejar Vietnam,” ujar Sari Wahyuni dalam webinar bertema “Kondisi Kerja dan Kualitas Hidup Pekerja Garmen Indonesia dan Vietnam: Realitas dan Harapan”, Selasa (25/8/2020).

Pengajar Senior Departemen Manajemen FEB UI, Aryana Satrya, mengusulkan sedikitnya 5 rekomendasi strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri garmen nasional. Pertama, mendukung penyelesaian perjanjian dagang Indonesia-Uni Eropa untuk menurunkan bea masuk agar ekspor produk tekstil dapat meningkat. Kedua, mendorong penyelarasan peraturan pemerintah. Misalnya, benang jahit jangan terlalu mahal dan di sektor hilir jangan terlalu murah, sehingga orang cenderung membeli barang impor.

Ketiga, mendorong penerapan teknologi terkini agar biaya produksi dapat dilakukan lebih efisien. Pemerintah bisa menerbitkan kebijakan seperti pemberian kredit bagi industri untuk pembaruan mesin terkini. Keempat, menurunkan impor produk tekstil guna meningkatkan konsumsi produk domestik. Kelima, meningkatkan produktivitas pekerja melalui berbagai aspek yakni menumbuhkan sikap positif, meningkatkan keterampilan, dan dialog sosial.

Aryana memaparkan dampak pandemi Covid-19 terhadap industri garmen dan tekstil, antara lain omset menurun karena banyak pesanan yang dibatalkan. Melansir data National Garment Workers Federation (NGWF), Aryana menyebut banyak pekerja dirumahkan dan menerima 53 persen dari upah kotor. Misalnya Vietnam, semester I tahun 2020 omset dari ekspor tekstil dan appareal turun 13,4 persen.

Tags:

Berita Terkait