Lima Saran Greenpeace Atasi Karhutla
Berita

Lima Saran Greenpeace Atasi Karhutla

Karena penegakan hukum lemah, buktinya masih ada perusahaan yang lahan konsesinya terbakar, namun belum mendapatkan sanksi tegas.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengaku sudah meminta tanggapan dari 10 perusahaan perkebunan sawit itu dan 7 perusahaan telah memberi jawaban. Dari jawaban tersebut sedikitnya ada 4 alasan perusahaan terkait karhutla.

 

Pertama, mereka menuding masyarakat (sekitar) membakar lahan konsesi yang luput dari pengawasan perusahaan. Kedua, menurut mereka data yang disajikan pemerintah tentang karhutla di lahan konsesi tidak benar. Pemerintah dinilai melebih-lebihkan data konsesi yang terbakar. Ketiga, perusahaan mengklaim sudah melibatkan masyarakat dalam program pemadaman karhutla. Keempat, sebagian perusahaan itu mengklaim data Greenpeace salah dan tidak ada kebakaran di lahan konsesi.

 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin menghitung setidaknya ada 3 grup korporasi sektor bubur kertas yang konsesinya terbakar tahun 2015-2018. Tapi sanksi yang diberikan sangat minim. Misalnya grup SM/APP hanya dikenakan sanksi berupa penundaan izin penanaman di area konsesi yang terbakar. Kemudian grup RGE yang terdeteksi mengalami karhutla setiap tahun sejak 2015.

 

Menurut Rusmadya, perusahaan itu sudah dijatuhi sanksi administratif, tapi hanya 2 kali. Investigasi (penyelidikan/penyidikan) tindak pidana sudah diproses kepolisian, tapi dihentikan (SP3) tahun 2016 dengan alasan kurang bukti. Karena itu, penegakan hukum harus dilakukan untuk menimbulkan efek jera terutama terhadap perusahaan atau korporasi.

 

Greenpeace juga mensinyalir ada masyarakat yang berprofesi sebagai “pembakar hutan.” Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus aktif menggelar sosialisasi dan program agar mereka meninggalkan profesinya karena karhutla berdampak buruk terhadap masyarakat. Jika aparat penegak hukum memproses orang yang dibayar untuk membakar hutan, wajib ditelusuri siapa yang menyuruh orang tersebut dan harus diproses hukum.

 

Sedikitnya ada 5 rekomendasi Greenpeace Indonesia untuk pemerintah dalam mengatasi persoalan karhutla. Pertama, pemerintah harus menjalankan putusan MA No.121 K/TUN/2017 Tahun 2017 yang intinya memerintahkan Kementerian ATR/BPN membuka data HGU perkebunan kelapa sawit. Data ini harus dipublikasi agar masyarakat bisa mengawasi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam mengelola area konsesi. Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus membuka data secara rinci terkait penanganan kasus karhutla baik, perdata, pidana, dan administratif.

 

Ketiga, pemerintah perlu membentuk tim independen untuk memonitor proses penegakan hukum kasus karhutla agar berjalan konsisten dan transparan. Keempat, cabut izin perusahaan yang tidak mau menjalankan sanksi. Kelima, pemerintah harus menjalankan putusan MA bernomor 3555 K/PDT/2018 terkait kebakaran hutan di Kalimantan Tengah tahun 2016 yang memperkuat putusan PN Pekanbaru. Dalam putusan itu, pemerintah dihukum untuk menerbitkan sejumlah kebijakan.

Tags:

Berita Terkait