Lima Saran Greenpeace Atasi Karhutla
Berita

Lima Saran Greenpeace Atasi Karhutla

Karena penegakan hukum lemah, buktinya masih ada perusahaan yang lahan konsesinya terbakar, namun belum mendapatkan sanksi tegas.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sebagian wilayah Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dilanda musibah kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap. Ilustrasi: BAS
Sebagian wilayah Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dilanda musibah kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap. Ilustrasi: BAS

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia seperti di sebagian Sumatera dan Kalimantan yang berdampak pada “hujan” asap sudah terjadi berulang kali. Greenpeace Indonesia menilai salah satu sebab berulangnya kasus karhutla karena lemahnya penegakan hukum, sehingga tidak menimbulkan efek jera terhadap pelakunya.  

 

Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik mencatat pada kasus karhutla tahun 2015-2018 tidak ada sanksi yang signifikan dan tegas baik sanksi administratif maupun sanksi perdata (ganti rugi) yang diberikan kepada 10 perusahaan kelapa sawit yang area konsesinya terbakar dalam luasan yang cukup besar. Begitu pula penegakan hukum terhadap perusahaan di sektor bubur kertas (pulp).  

 

Greenpeace menegaskan sebagian besar perusahaan itu lolos dari sanksi sekalipun karhutla sering terjadi di lahan konsesi mereka. Tahun ini juga banyak ditemukan titik api di area konsesi kedua sektor perusahaan itu. Menurut Kiki, sejak kasus karhutla besar di tahun 2015, pemerintah seharusnya mengutamakan penghentian krisis karhutla.

 

“Tapi temuan kami upaya yang dilakukan masih sebatas kata, penegakan hukum terhadap perusahaan masih lemah dan tidak konsisten. Presiden Jokowi dan para menterinya harus berani mencabut izin perusahaan yang lahan konsesinya terbakar,” kata Kiki dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (24/9/2019). Baca Juga: Implementasi Kebijakan Belum Optimal Jadi Pemicu Karhutla

 

Dari 10 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dianalisa Greenpeace Indonesia, Kiki mencatat ada 7 perusahaan yang lahan konsesinya memiliki banyak titik api. Berikut ini daftar perusahaannya:

 

Perusahaan (Lokasi)

Total Titik Api Hingga 16 September 2019

PT GAL (Kalimantan Tengah)

297

PT DMIL (Sumatera Selatan)

182

PT MIB (Kalimantan Selatan)

103

PT BCMP (Kalimantan Tengah)

87

PT SMM (Kalimantan Selatan)

72

PT CPKA (Kalimantan Selatan)

67

PT KMS (Kalimantan Tengah)

50

 

“Kita mencatat tidak ada sanksi baik perdata dan administratif yang diberikan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang lahannya terbakar itu. Bahkan karhutla yang terjadi di lahan milik berbagai perusahaan itu terjadi berulang kali,” lanjutnya.  

 

Dia mengaku sudah meminta tanggapan dari 10 perusahaan perkebunan sawit itu dan 7 perusahaan telah memberi jawaban. Dari jawaban tersebut sedikitnya ada 4 alasan perusahaan terkait karhutla.

 

Pertama, mereka menuding masyarakat (sekitar) membakar lahan konsesi yang luput dari pengawasan perusahaan. Kedua, menurut mereka data yang disajikan pemerintah tentang karhutla di lahan konsesi tidak benar. Pemerintah dinilai melebih-lebihkan data konsesi yang terbakar. Ketiga, perusahaan mengklaim sudah melibatkan masyarakat dalam program pemadaman karhutla. Keempat, sebagian perusahaan itu mengklaim data Greenpeace salah dan tidak ada kebakaran di lahan konsesi.

 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin menghitung setidaknya ada 3 grup korporasi sektor bubur kertas yang konsesinya terbakar tahun 2015-2018. Tapi sanksi yang diberikan sangat minim. Misalnya grup SM/APP hanya dikenakan sanksi berupa penundaan izin penanaman di area konsesi yang terbakar. Kemudian grup RGE yang terdeteksi mengalami karhutla setiap tahun sejak 2015.

 

Menurut Rusmadya, perusahaan itu sudah dijatuhi sanksi administratif, tapi hanya 2 kali. Investigasi (penyelidikan/penyidikan) tindak pidana sudah diproses kepolisian, tapi dihentikan (SP3) tahun 2016 dengan alasan kurang bukti. Karena itu, penegakan hukum harus dilakukan untuk menimbulkan efek jera terutama terhadap perusahaan atau korporasi.

 

Greenpeace juga mensinyalir ada masyarakat yang berprofesi sebagai “pembakar hutan.” Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus aktif menggelar sosialisasi dan program agar mereka meninggalkan profesinya karena karhutla berdampak buruk terhadap masyarakat. Jika aparat penegak hukum memproses orang yang dibayar untuk membakar hutan, wajib ditelusuri siapa yang menyuruh orang tersebut dan harus diproses hukum.

 

Sedikitnya ada 5 rekomendasi Greenpeace Indonesia untuk pemerintah dalam mengatasi persoalan karhutla. Pertama, pemerintah harus menjalankan putusan MA No.121 K/TUN/2017 Tahun 2017 yang intinya memerintahkan Kementerian ATR/BPN membuka data HGU perkebunan kelapa sawit. Data ini harus dipublikasi agar masyarakat bisa mengawasi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam mengelola area konsesi. Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus membuka data secara rinci terkait penanganan kasus karhutla baik, perdata, pidana, dan administratif.

 

Ketiga, pemerintah perlu membentuk tim independen untuk memonitor proses penegakan hukum kasus karhutla agar berjalan konsisten dan transparan. Keempat, cabut izin perusahaan yang tidak mau menjalankan sanksi. Kelima, pemerintah harus menjalankan putusan MA bernomor 3555 K/PDT/2018 terkait kebakaran hutan di Kalimantan Tengah tahun 2016 yang memperkuat putusan PN Pekanbaru. Dalam putusan itu, pemerintah dihukum untuk menerbitkan sejumlah kebijakan.

Tags:

Berita Terkait