Lima Cara Mencegah Konflik dalam Pilkada Serentak
Berita

Lima Cara Mencegah Konflik dalam Pilkada Serentak

Pilkada sejatinya ajang demokrasi yang mesti dilaksanakan secara aman dan damai. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dan operasionalisasi optimal dalam menjamin terciptanya stabilitas nasional dan daerah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pilkada serentak: BAS
Ilustrasi pilkada serentak: BAS

Secara umum, ada dua hal krusial yang perlu diantisipasi dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak yang bakal dilaksanakan 9 Desember 2020. Pertama, potensi aksi kekerasan, anarkis, intimidasi, dan lainnya sebagaimana pemilu/pilkada sebelumnya. Kedua, mencegah penyebaran/penularan Covid-19 dalam setiap tahapan pilkada.

Dekan Fakultas Keaamanan Nasional Universitas Pertahanan, Laksamana Madya (Laksda) TNI Siswo HS mengatakan terdapat potensi konflik akibat tensi politik meninggi di tengah pandemi Covid-19. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu diwaspadai. Pertama, pada tahap prapelaksanaan pilkada serentak yakni titik rawan terjadi saat kampanye jelang pemungutan suara dimana potensi konflik dapat terjadi antar pendukung calon.

Kedua, pada pelaksanaan pilkada terdapat titik rawan saat pemungutan dan penghitungan suara. Konflik dapat dipicu antara lain akibat intimidasi terhadap penyelenggara pilkada. Ketiga, pasca pelaksanaan. “Dimana titik rawan pada saat dan pasca penetapan hasil akibat ketidakpuasan salah satu pihak,” ujar Siswo HS dalam sebuah diskusi bertajuk “Penyelenggaraan Pilkada Serentak yang Aman dan Edukatif di Masa Pandemi”,secara daring, Jumat (11/9).

Dia melanjutkan tantangan pelaksanaan pilkada dari aspek keamanan nasional antara lain soal tingginya tensi politik di tingkat lokal yang dinamis. Kemudian persaingan tak sehat antar calon dan tim sukses yang menjadi konsumsi publik serta emosi publik rentan menimbulkan amarah secara kolektif yang dapat menyulut terjadinya konflik. Akibatnya terjadi ketegangan sosial, hingga munculnya konflik yang mengganggu keamanan.

“Pilkada sejatinya ajang demokrasi yang mesti dilaksanakan secara aman dan damai. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dan operasionalisasi optimal dalam menjamin terciptanya stabilitas nasional dan daerah,” kata dia. (Baca Juga: Jika Langgar Protokol Kesehatan, Calon Kepala Daerah Bisa Dijerat Pidana)

Untuk itu, dia mengusulkan lima rekomendasi untuk mengantisipasi munculnya gangguan keamanan atau konflik dalam pilkada. Pertama,mengintensifkan edukasi publik dalam menyikapi proses dan hasil pilkada. Kedua, membuat prosedur antisipasi sedini mungkin terhadap kemungkinan adanya potensi gangguan dalam setiap tahapan pilkada.

Ketiga, membangun sistem respon yang cepat mengatasi gangguan keamanan dalam pilkada. Keempat, membangun komitmen semua pasangan calon kepala daerah untuk menciptakan pilkada aman, damai dan edukatif. Kelima,membuat kebijakan pelibatan TNI dalam mendukung terwujudnya keamanan selama pilkada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Bisa mewujudkan optimalisasi peran TNI dalam melakukan edukasi bagi masyarakat, khususnya menyikapi proses dan hasil pilkada,” ujarnya mencontohkan.

Dia berharap korps TNI dapat membantu penyelenggara pilkada di seluruh Indonesia. Demikian pula pemerintah daerah mendorong agar meningkatkan kedisplinan masyarakat dalam mentaati protokol kesehatan. Selain itu, menumbuhkan kesadaran bahwa pilkada merupakan upaya pendewasaan demokrasi dalan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Timbul masalah baru

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Prof Djohermansyah Djohan mengatakan penyelenggaraan pilkada serentak di sejumlah daerah tak bisa dipungkiri masih menyimpan sejumlah persoalan. Antara lain masih terjadinya praktik politik uang, calon tunggal, dan teknis penyelenggaraan. “Sejumlah persoalan tersebut memerlukan pembenahan dari aspek regulasi yang khusus  mengatur pilkada,” kata Djohermansyah dalam kesempatan yang sama.  

Dia mengusulkan pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 agar ditunda terlebih dahulu. Sebaliknya memprioritaskan pembenahan regulasi. “Saya wanti-wanti kalau ada hal emergency, maka harus tarik rem darurat,” ujarnya.

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010 itu berpendapat, KPU, Bawaslu, pemerintah dan DPR perlu menunda pilkada serentak. Namun, terdapat alternatif bila pilkada tetap digelar di tengah pandemi Covid-19, pilkada serentak tetap dapat digelar melalui pemilihan oleh DPRD. “Tentu dalam kondisi normal mekanismenya dikembalikan seperti semula,” usulnya.

Menanggapi Laksda TNI Siswo dan Prof Djohermansyah, Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar mengakui permasalahan penyelenggaraan pilkada serentak memang amat banyak. Namun bila solusinya menunda pelaksanaan pilkada, justru bakal berpotensi menimbulkan beragam persoalan baru antara penyelenggaraan pemerintah daerah, pengelolaan anggaran, dan lainnya.

Menurutnya, pada tahap pendaftaran pilkada yang rampung pekan lalu, harus diakui banyak terjadi pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Bawaslu pun, kata Fritz, bakal memberi sanksi administratif bagi peserta pilkada yang melanggar protokol kesehatan. Sedangkan pelanggaran pidana, Bawaslu menyerahkan kepada pihak berwenang (kepolisian).

Tags:

Berita Terkait