Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia
Oleh: Heru Susetyo *)

Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia

Pada pertengahan Juli 2008 publik Indonesia kembali tersentak. Eksekusi hukuman mati, yang diduga hanya sekedar gertakan, dan tak benar-benar dilaksanakan, ternyata betul-betul terjadi

Bacaan 2 Menit

 

Mempertahankan Eksekusi Mati

Kendati hukuman mati telah ditolak oleh nyaris dua pertiga negara di dunia, tak urung masih ada sekitar 68 negara yang masih mempraktekkannya.  Dari 68 negara tersebut,  hanya Amerika bersama Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang tergolong negara 'maju', di samping beberapa negara petrodollar di Timur Tengah.  Karena, selebihnya adalah negara-negara 'dunia ketiga.'

 

Sejak 1977, saat hukuman mati dihidupkan kembali di AS, tak kurang dari 820 jiwa telah dieksekusi. Pada 2002, sebanyak 71 jiwa telah dieksekusi. Kemudian, per 1 Januari 2002, sekitar 3.700 jiwa telah dijatuhi hukuman mati (belum dieksekusi). Hukuman mati masih berlaku di 37 negara bagian di AS.


Jepang bahkan memiliki kasus yang menarik.  Bahwa seorang terpidana dijatuhi hukuman mati hanya karena menculik dan membunuh seorang gadis kecil bernama, Kaede Ariyama (7 tahun) pada November 2004 di daerah Nara.   Kaoru Kobayashi, sang terpidana,  divonis mati karena hakim berpendapat bahwa kejahatannya sangat sadis dan ia tak mungkin dapat direhabilitasi.  Maka,  tak mungkin menghentikan kejahatannya kecuali ia harus dipidana mati sebagai kompensasi kejahatannya ((Daily Yomiuri, 27 September 2006). 


Di Indonesia sendiri,  legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika 1997, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 & 2001, UU Pengadilan HAM 2000 dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2003.

 

Di level masyarakat Indonesia sendiri,  hukuman mati tidak pernah menjadi isu yang sangat serius. Minimal sampai eksekusi mati Tibo dkk.  Masih banyak praktek adat dan kebiasaan  di beberapa masyarakat di Indonesia yang memang  ‘mentolerir pengadilan jalanan'  sebagai bagian dari nilai budaya yang hidup. Juga,  masih lekat pengaruh dari hukum agama,  sebutlah hukum pidana Islam yang memang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas).  Kendati hukum pidana Islam bukanlah bagian dari hukum positif di Indonesia (terkecuali untuk Nanggroe Aceh Darussalam untuk sebagian wilayah pidana), namun  sebagian masyarakat muslim menganggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.

 

Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998 Indonesia banyak melahirkan Undang-Undang bernuasan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan ratifikasi terhadap dua Kovenan Internasional,  masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun 2005.    Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR)  antara lain adalah negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang benar-benar melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan.  Maka,  kendati tidak secara eksplisit menyerukan hukuman mati,   hadirnya instrumen tesebut semakin menegaskan kesenjangan yang terjadi dengan produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati.

 

Manajemen Eksekusi Mati

Merupakan tugas dari pembuat hukum dan pengambil kebijakan di negeri ini untuk meninjau kembali pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia.  Apakah hukuman mati memang masih diperlukan di negeri ini?  Bagaimanakah menyikapi kesenjangan yang terjadi antara perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati dengan instrumen HAM yang cenderung menghapuskan hukuman mati?  Bagaimanakah meningkatkan kinerja, profesionalisme, dan independensi badan-badan peradilan sehingga dapat benar-benar menciptakan keadilan bagi masyarakat?  Dan, akhirnya,  bagaimanakah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum melalui program-program pembangunan yang berkeadilan, sehingga, potensi rakyat untuk melakukan kejahatan  akibat kemiskinan yang dideritanya dapat terus diminimalisir.

Tags: