Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia
Oleh: Heru Susetyo *)

Legitimasi dan Manajemen Eksekusi Mati di Indonesia

Pada pertengahan Juli 2008 publik Indonesia kembali tersentak. Eksekusi hukuman mati, yang diduga hanya sekedar gertakan, dan tak benar-benar dilaksanakan, ternyata betul-betul terjadi

Bacaan 2 Menit

 

Ada contoh menarik terkait eksekusi mati terhadap terpidana mati. Timothy McVeigh,  mantan tentara AS veteran perang teluk, melakukan pemboman gedung FBI (Alfred P. Murrah Federal Buiding) di Oklahoma City-USA pada 19 April 1995. Ia kemudian dipidana mati dan akhirnya dieksekusi mati pada 11 Juni 2001.  Kendati ia telah terbukti bersalah dan dituntut di sebelas negara bagian yang berbeda sebagai pelaku kejahatan yang menewaskan 168 jiwa,  namun tak sedikit kalangan yang membelanya supaya dia tak dijatuhi hukuman mati.  Menariknya,  dari kalangan yang membela tersebut ada juga keluarga dari para korban pengeboman.  Mereka mengatakan :Dia (Tim Mc Veigh) memang telah melakukan kejahatan dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa.  Namun, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukannya dengan mengambil nyawanya juga.

 

Terkait dengan dasar hukum, legalitas penolakan terhadap hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional antara lain: (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).


Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional. Sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi oleh 50 negara dan ditandatangani oleh 7 negara lainnya (UNHCHR, 2006). Protokol ini mewajibkan bagi negara-negara yang telah meratifikasinya (state parties) untuk menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun dalam praktiknya.


Second Optional Protocol mendalilkan perlunya hukuman mati dihapus, dengan merujuk pada pasal 3 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan (life, liberty, and security of person), juga pada pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) yang berbunyi: "Setiap orang mempunyai hak yang tak terpisahkan dan dilindungi oleh hukum, yaitu hak untuk hidup.


Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati (death penalty). Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.


Sementara itu, 68 negara sampai kini masih memberlakukan hukuman mati dalam hukum nasionalnya. Di antaranya adalah Amerika Serikat (pada 37 negara bagiannya), Jepang, Korea (utara dan selatan), India, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.


Menurut catatan Amnesty lagi,   selama tahun 2005 minimal 2148 terpidana telah dieksekusi di 22 negara dan 5186 lainnya telah divonis mati di 53 negara.   Dari jumlah tersebut,  94% dari total eksekusi terjadi di empat negara saja, masing-masing China, Iran, Saudi Arabia, dan USA.  Satu perkiraan kasar dari Mark Warren (Amnesty, 2006) menyebutkan bahwa total terpidana mati yang tengah menanti eksekusi di dunia berkisar antara 19.474 – 24.546 jiwa.

Tags: