Kritik Atas Putusan MK Terkait Uji Wewenang Pemutusan Akses Internet
Utama

Kritik Atas Putusan MK Terkait Uji Wewenang Pemutusan Akses Internet

Putusan ini dianggap mengafirmasi PP No.71 Tahun 2019 sebagai rujukan hukum membatasi HAM. Pertimbangan hukumnya dinilai tidak menggali lebih dalam persoalan dan pembatasan terhadap hak-hak masyarakat dalam berinternet.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Ketiga, ketidaktepatan otoritas yang memiliki legitimasi untuk melakukan tindakan pembatasan (diserahkan ke pemerintah). Keempat, ketidakjelasan mekanisme banding atas tindakan pembatasan, sebagai aplikasi dari prinsip judicial scrutiny. “Putusan ini dapat menjadi pemicu (drivers) semakin terancamnya kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi di Indonesia,” bebernya.

Bagi Wahyudi, Putusan MK itu tidak mempertimbangkan argumentasi HAM, khususnya yang menempatkan akses internet, termasuk konten internet sebagai bagian dari HAM, terutama kebebasan berekspresi dan hak atas informasi. Walaupun tergolong sebagai hak yang dapat dibatasi (derogable rights). Tapi pembatasan ini harus memenuhi syarat pembatasan HAM seperti diatur hukum (prescribed by law) dalam bentuk UU atau putusan pengadilan; untuk tujuan yang sah (legitimate aim); dan tindakan yang sangat mendesak diperlukan (necessity) dengan cara proporsional.

Menurutnya, pertimbangan putusan MK itu tidak konsisten memaknai prescribed by law sebagai syarat pembatasan HAM. Putusan tersebut mengafirmasi PP No.71 Tahun 2019 sebagai rujukan hukum dalam membatasi HAM. Padahal frasa “berdasarkan hukum” dalam pembatasan HAM hanya dapat dilakukan melalui UU (selain putusan pengadilan) sebagaimana ditegaskan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Dalam putusan MK sebelumnya, yakni pengujian Pasal 31 ayat (4) UU ITE terkait pengaturan prosedur intersepsi komunikasi, MK berpendapat jika negara ingin menyimpangi atau membatasi HAM, sepatutnya dilakukan dalam bentuk UU, bukan peraturan pemerintah (PP), termasuk dalam pengaturan prosedur tindakan pembatasannya.

Namun, Wahyudi menilai melalui Putusan MK No.81/PUU-XVIII/2020 ini, MK gagal memberikan pandangan lebih jauh tentang bagaimana sejatinya pengaturan tata kelola konten internet di Indonesia. Seharusnya MK dapat menggunakan pendekatan perbandingan untuk melihat pembelajaran dari negara lain, untuk memastikan ada checks and balances dalam tindakan pembatasan terhadap konten internet untuk mencegah praktik sewenang-wenang.

Melalui putusan MK ini, Wahyudi melihat KTUN sebelum pemutusan akses internet tidak diperlukan, karena cukup dengan tindakan pemerintah saja. Dalam pertimbangan putusan itu, MK melihat internet sebagai suatu instrumen kejahatan yang harus dikhawatirkan dan mengancam. Padahal ini merupakan sarana untuk melahirkan banyak inovasi, kesempatan, dan bersifat memberdayakan.

“Sebagaimana dikatakan Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (2011), yang menyebutkan internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memberantas ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia,” ujarnya memberi contoh.

Tags:

Berita Terkait