Kritik Atas Putusan MK Terkait Uji Wewenang Pemutusan Akses Internet
Utama

Kritik Atas Putusan MK Terkait Uji Wewenang Pemutusan Akses Internet

Putusan ini dianggap mengafirmasi PP No.71 Tahun 2019 sebagai rujukan hukum membatasi HAM. Pertimbangan hukumnya dinilai tidak menggali lebih dalam persoalan dan pembatasan terhadap hak-hak masyarakat dalam berinternet.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Ade berpendapat MK tidak konsisten terhadap putusan-putusan sebelumnya terkait pembatasan HAM yang harus dilakukan lewat UU. Tapi, dalam putusan MK No.81/PUU-XVIII/2020 itu yang jadi pertimbangan dalam melakukan pembatasan akses (internet, red) hanya peraturan pemerinta (PP) yang mengatur pemblokiran yakni PP No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

“Dampaknya ke depan kewenangan pemerintah melakukan pemblokiran tetap besar, dan potensi penyalahgunaannya juga besar,” paparnya.

Hanya yang melanggar hukum

Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, menilai putusan itu menolak permohonan para pemohon yang meminta agar kewenangan pemerintah dalam pemutusan akses internet terhadap konten yang memiliki muatan melanggar hukum, harus didasarkan pada Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) secara tertulis terlebih dahulu.

Wahyudi menilai kewenangan pemerintah memutus akses sebagaimana Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terbatas pada “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum”. Hal ini ditegaskan dalam pertimbangan Mahkamah. Artinya, frasa “pemutusan akses“ dalam kewenangan yang dimiliki pemerintah tidak mencakup akses jaringan internet, seperti yang pernah terjadi di Papua dan Papua Barat.

“Kewenangan tersebut hanya mencakup pemutusan akses terhadap konten internet (informasi/dokumen elektronik),” ujarnya ketika dikonfirmasi, Senin (1/11/2021).

Menurut Wahyudi, putusan MK ini patut disayangkan karena Indonesia tercatat sebagai negara paling banyak mengajukan permintaan penghapusan konten dari hasil pencarian Google (delisting) dan platform lainnya dari perusahan tersebut. Laporan transparansi Google menyebut sejak 2011 pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan penghapusan konten sebanyak 257 ribu item. Dari jumlah itu, 11 permintaan penghapusan konten yang isinya kritik terhadap pemerintah, bukan konten yang masuk kategori melanggar hukum.

Permintaan penghapusan itu terjadi karena pengaturan konten internet di Indonesia tidak jelas. Setidaknya ada 4 masalah dalam pembatasan konten internet di Indonesia. Pertama, tidak ada aturan jelas mengenai konten yang dapat dibatasi aksesnya (harmful content). Kedua, ketidakjelasan prosedur mengenai tindakan pembatasan tersebut yang lawful menurut HAM.

Tags:

Berita Terkait