Korupsi, Pintu Masuk Kerusakan Alam
Utama

Korupsi, Pintu Masuk Kerusakan Alam

Seluruh kegiatan pertambangan rawan korupsi. Sejak proses perizinan hingga produksi, selalu ada celah untuk korupsi.

Inu
Bacaan 2 Menit

 

Namun, ujarnya, hingga kini korupsi di sektor pertambangan seperti sulit disentuh. “Padahal, praktik korupsi begitu terbuka,” tutur Marwan.

 

Pendapat senada disampaikan aktivis Jaringan Advokasi Tambang  (Jatam) Kalimantan Timur, Merah Johansyah. Pada acara yang sama, Merah menguraikan hasil penelusuran Jatam terhadap kegiatan pertambangan di Kaltim.

 

Berdasarkan catatan Jatam, per Mei 2010 dari 14 daerah tingkat dua di Kaltim, ada 1.269 izin Kuasa Pertambangan (KP) batubara yang dikeluarkan oleh 12 kepala daerah tingkat dua. Terbanyak, lanjutnya ada di Kabupaten Kutai Kertanegara sebanyak 749 KP, disusul Samarinda (76), kemudian Paser (67), dan Kutai Timur (57). Sedangkan perusahaan tambang batubara yang memegang izin Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

 

Jatam menghitung, lebih dari 200 juta ton batubara dikeruk dari bumi Kaltim. Namun, hanya dua persen yang digunakan penduduk Kalimantan. Sedangkan 70 persen dinikmati asing.

 

Merah juga mengungkapkan temuan Jatam pada PT Kaltim Prima Coal (KPC). Pada tahun 2008, produksi KPC mencapai 38,4 juta ton. Setiap hari, dibutuhkan 105 ribu ton batubara melalui PLTU Tanjung Bara. Ditambah 96 ton batubara dan 120 ribu liter air untuk memasok ketel dan setidaknya 302.400 liter air laut untuk pendingin.  Sedangkan dari hasil produksi, 2,3 ton limbah berupa abu terbang (fly ash) dan 1,5 ton abu dasar per hari. “Belum dihitung kebutuhan solar setiap hari sebanyak 9.384 kiloliter solar. Itu data tahun 2007,” sambungnya.

 

Keadaan ini, lanjut Merah, tak sebanding dengan yang dinikmati warga Kaltim. Dia membeberkan data. Dengan produksi batubara untuk energi sebesar itu, hanya 27 persen atau 135 desa yang dialiri listrik. “Tercatat, 48,25 persen penduduk miskin di Kaltim berada di sekitar kawasan tambang,” urainya.

 

Dampak lain, ujar Merah, seperti terjadi di ibukota Kalimantan Timur, Samarinda. Pemerintah harus menyediakan dana besar untuk membangun lima polder guna mengatasi banjir. “Satu polder seharga Rp38 miliar, padahal tahun 2008, PAD Samarinda dari pengerukan batubara hanya Rp399 juta atau 4,13 persen PAD Samarinda,” terangnya.

Tags: