Korban Tsunami Selat Sunda Dapat Keringanan Pajak
Berita

Korban Tsunami Selat Sunda Dapat Keringanan Pajak

Keringanan perpajakan ini dianggap masih belum maksimal bagi para korban bencana tsunami.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Pemerintah akan Relokasi Rumah Korban Tsunami, Begini Pengaturannya)

 

Secara umum, pengertian force majeure atau kondisi kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan manusia seperti banjir, kebakaran, petir, gempa bumi, wabah, perang, perang saudara, hura-hura, pemogokan, pembatasan oleh penguasa dari suatu pemerintahan, pembatasan perdagangan oleh suatu undang-undang atau peraturan pemerintah, atau dikarenakan suatu keadaan atau kejadian alamiah yang tidak dapat diduga sebelumnya.

 

Dalam sektor perpajakan, para wajib pajak dapat membuktikan dirinya mengalami keadaan kahar harus mendapatkan rekomendasi (pengesahan) dari aparat yang berwenang setempat misalnya camat atau kepolisian setempat.

 

Berdasarkan aturan, keringanan dan penghapusan sanksi administrasi perpajakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pada Pasal 36 aturan tersebut menyatakan Dirjen Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.

 

Meski demikian, pengamat pajak dan dosen perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH), Roni Bako menganggap kebijakan ini masih belum maksimal membantu para korban bencana alam tersebut. Keringanan pelaporan dan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat hingga 30 April tersebut dianggap masih terlalu singkat. Menurutnya, DJP seharusnya memberi keringanan perpajakan tersebut dalam jangka waktu satu tahun.

 

“Tidak tepat kalau hanya bentuk keringanan pajak tapi seharusnya adalah penghapusan. Selain itu, jangka waktu yang diberikan juga terlalu singkat hanya sampai 30 April. Seharusnya, DJP menetapkan waktunya hingga satu tahun sejak terjadinya bencana,” kata Roni saat dihubungi Hukumonline.

 

Sebab, Roni menjelaskan para korban tsunami tersebut memerlukan waktu lama untuk kembali dalam kondisi normal. Selain itu, dia juga meragukan dokumen-dokumen untuk mendapatkan keringanan perpajakan tersebut juga belum tentu masih tersimpan oleh para korban.

 

“Untuk pulih dari bencana itu enggak mudah. Selain itu, belum tentu para korban memiliki dokumen-dokumen yang diperlukan,” tambah Roni.

Tags:

Berita Terkait