Kontroversi Qanun, Perda Dengan Karakteristik Khusus
Fokus

Kontroversi Qanun, Perda Dengan Karakteristik Khusus

Penerapan syariat Islam adalah perjuangan sepanjang hayat bagi masyarakat Aceh. Tetapi dimana letak Qanun dalam tata urutan perundang-undangan nasional?

CR-3
Bacaan 2 Menit

 

Maria memandang perlu ada penegasan kepada siapa qanun dapat diberlakukan. Penegasan ini, lanjutnya, perlu dilakukan karena besar kemungkinan ada masyarakat lain selain masyarakat muslim yang tinggal di Aceh. Artinya ada sejumlah orang yang tidak bisa dipaksakan untuk tunduk terhadap syariat Islam.

 

Pijakan dasar

Dalam setiap qanun yang diterbitkan oleh Pemerintah provinsi NAD, selalu disebutkan Qur'an dan Hadist pada bagian dasar hukum. Dalam hukum Islam, Qur'an dan Hadist memang merupakan rujukan utama.

 

Namun, penempatan Qur'an dan Hadist jelas ‘menyimpang' dari ketentuan yang tercantum dalam UU No. 10/2004. Pada bagian B.2 Lampiran UU No. 10/2004, dinyatakan bahwa dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Ditegaskan pula bahwa yang dapat digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

 

Artinya, yang dapat dijadikan dasar hukum ‘hanyalah' peraturan perundang-undangan lain yang setingkat atau lebih tinggi yang terdapat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sementara, Qur'an dan hadist jelas berada di luar tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia.

 

Maria berpendapat, dari segi teori perundang-undangan, penempatan Qur'an dan Hadist dapat dikatakan keliru besar. Dia menjelaskan walaupun qanun ada dalam konteks penerapan syariat Islam, tetapi tetap saja qanun seharusnya tetap berada pada jalur sistem hukum nasional.

 

Maria menambahkan apabila Qur'an dan Hadist ditempatkan sebagai dasar hukum, maka kita telah mengecilkan arti Qur'an dan Hadist itu sendiri. Karena, lanjutnya, dengan asumsi qanun itu adalah perda dan menurut tata urutan, perda dibawah peraturan di tingkat pusat, berarti menempatkan quran dan hadist sebagai dasar hukum sama saja dengan menempatkan kedua norma yang dipandang suci tersebut di bawah peraturan buatan manusia.

 

Masalah terakhir adalah terkait dengan materi muatan dari qanun. Dengan asumsi qanun adalah perda, maka seharusnya materi muatan suatu qanun adalah materi muatan perda. Menurut pasal 12 UU No. 10/2004, materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Sayang, ketentuan pasal tersebut bermakna sangat luas dan bersifat ‘karet'. Setiap daerah berhak untuk menafsirkan sendiri apa yang dimaksud dengan hal-hal penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan yang lebih tinggi.

 

Maria mengatakan pada prinsipnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip yang sama, lanjutnya, juga berlaku bagi qanun. Materi muatan suatu qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.

 

Maria menambahkan apabila ternyata materi muatan suatu qanun bertentangan peraturan diatasnya, maka terhadap qanun tersebut dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Agung. Artinya qanun dapat dibatalkan atau dicabut dengan alasan bertentangan dengan peraturan diatasnya.

 

Sebagai ilustrasi, Maria mencontohkan qanun yang mengatur tentang hukuman cambuk. Menurutnya, qanun tersebut bisa saja diuji materiil karena dianggap bertentangan dengan peraturan diatasnya yang terkait yakni KUHP.

Tags: