Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Ingatkan 4 Hal untuk Omnibus Law
Berita

Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Ingatkan 4 Hal untuk Omnibus Law

Intinya dalam membuat suatu aturan, pemerintah dan DPR tidak boleh merugikan salah satu pihak.

Ady Thea Dian Achmad
Bacaan 2 Menit

 

Konsultan, praktisi, dan akademisi yang tergabung dalam Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) mengingatkan pemerintah dan DPR untuk hati-hati dan cermat dalam merumuskan omnibus law. Jangan sampai aturan yang ditetapkan nanti merugikan salah satu pihak. Ketua HKHKI, Ike Farida, mencatat pemerintah berencana mengintegrasikan 82 UU dan lebih dari seribu pasal ke dalam omnibus law Cipta Lapangan Kerja.

 

(Baca: Kesamaan Pandang Kunci Penting Penyusunan Omnibus Law)

 

Ike mengatakan omnibus law tujuannya untuk menyeragamkan kebijakan pusat dan daerah. Kemudian antar UU dengan peraturan di bawahnya agar tidak tumpang tindih. Misalnya, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bekasi No.4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan memuat ketentuan yang mengatur jumlah pekerja berstatus perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) jumlahnya harus lebih banyak daripada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Menurut Ike aturan ini bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

“Selama syarat menggunakan PKWT dipenuhi, maka perusahaan boleh merekrut pekerjanya secara PKWT, sekalipun jumlahnya lebih banyak dari PKWTT,” kata Ike saat dikonfirmasi, Sabtu (28/12).

 

Menurut Ike, omnibus law akan menyasar sejumlah isu ketenagakerjaan seperti upah minimum, outsourcing, tenaga kerja asing (TKA), pesangon, jam kerja, dan sanksi. Ike mengusulkan, dalam merumuskan kebijakan omnibus law khususnya di sektor ketenagakerjaan, pemerintah dan DPR harus berhati-hati, jangan sampai merugikan salah satu pihak. Kebijakan itu harus luwes dan tigak rigid agar pasar kerja di Indonesia bisa bersaing dengan internasional.

 

Dari 6 isu ketenagakerjaan yang disasar omnibus law, Ike menyoroti antara lain 4 hal. Pertama, upah minimum, melihat pernyataan menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, Ike mencatat pemerintah berencana menghapus upah minimum kabupaten/kota (UMK). Sebelum rencana ini ditetapkan, HKHKI mengusulkan pemerintah untuk melakukan penelitian lebih dulu untuk mengetahui daya beli dan harga kebutuhan pokok di setiap kota dalam satu provinsi apakah sama atau tidak.

 

Penelitian itu penting dilakukan karena KHL di setiap kota biasanya berbeda sekalipun berada dalam satu provinsi yang sama. Misalnya, kota Banjar Rp1,6 juta dan Karawang Rp4,2 juta, padahal keduanya dalam provinsi yang sama yaitu Jawa Barat. HKHKI khawatir jika UMK dihapus, dan acuannya hanya UMP maka memicu keresahan di kalangan pekerja.

 

Kedua, outsourcing, Ike mengingatkan ketentuan mengenai outsourcing saat ini diatur dalam beberapa regulasi antara lain pasal 64-66 UU No.13 Tahun 2003. Menurutnya ketentuan ini belum cukup baik mengatur outsourcing, apalagi ada putusan MK terkait outsourcing yang perlu ditindaklanjuti pemerintah dan DPR lewat aturan setingkat UU. Untuk membenahi ketentuan yang mengatur outsourcing, HKHKI mengusulkan pemerintah dan DPR untuk membuat UU khusus tentang outsourcing.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait