Istilah ‘konflik kepentingan’ biasanya muncul dalam tema tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Konflik kepentingan kerap dinilai sebagai salah satu akar perbuatan korupsi. Frasa tersebut sebenarnya tidak hanya dikenal dalam bidang hukum. Bidang manajemen, administrasi, ekonomi hingga politik juga mengenal ‘konflik kepentingan’. Tentu saja ‘konflik kepentingan’ dalam bahasa hukum harus dipahami dengan kerangka berpikir ilmu hukum.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) menjadi satu-satunya undang-undang yang memberikan definisi ‘konflik kepentingan’ hingga sekarang. Pasal 1 angka 14 UU AP menyebutnya sebagai kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Tampak bahwa ‘konflik kepentingan’ dalam definisi tersebut terbatas jika dilakukan Pejabat Pemerintahan. Masih dalam UU AP, Pejabat Pemerintahan yang dimaksud adalah unsur pelaksana fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan di seluruh lapisan penyelenggara negara. Artinya tidak hanya para pejabat di lingkungan kekuasaan eksekutif saja yang bisa diduga terlibat ‘konflik kepentingan’.
Unsur ‘konflik kepentingan’ itu ialah adanya pihak yang mengambil untung, kewenangan yang dimanfaatkan, serta tindakan yang tercemari netralitas dan kualitasnya. Perincian lebih lanjut untuk membuktikan terjadinya ‘konflik kepentingan’ ditemukan dalam Pasal 43 UU AP.