Kompensasi atas Hilangnya Nyawa dalam Kecelakaan Penerbangan Komersial
Kolom

Kompensasi atas Hilangnya Nyawa dalam Kecelakaan Penerbangan Komersial

Menyedihkan ketika mendengar kewajiban maskapai penerbangan untuk memberikan kompensasi disulap menjadi santunan dan iktikad baik yang kemudian diamini oleh pejabat publik.

Bacaan 5 Menit

Besaran ini tidaklah mengada-ada, tepatnya harus dilihat sebagai jaring pengaman bagi keluarga korban yang kehilangan tulang punggungnya (seringkali disebut bread hunter pada forum internasional), agar kehidupan (ekonomi) keluarga yang ditinggalkan dapat berjalan seperti sediakala. Tidak heran jika hal ini menjadi alasan utama bagi pengadilan di berbagai negara dalam memutus maskapai penerbangan untuk memberikan jumlah ganti kerugian maksimum.

Sangat disayangkan dan disesalkan ketika mendengar respon beberapa pihak terkait, terutama pejabat publik, dalam kasus jatuhnya pesawat naas AirAsia QZ 8501 yang merupakan contoh nyata ketidaktahuan dan kekeliruan berpikir dalam konteks hukum udara sehingga berujung kepada penyesatan publik. Jelas sekali dua komponen penting telah terpenuhi, tepatnya (i) penerbangan dari Surabaya ke Singapura merupakan penerbangan internasional; (ii) Singapura telah meratifikasi Konvensi Montreal dan Konvensi Warsawa 1929; dan (iii) Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 tetapi sudah meratifikasi Konvensi Warsawa 1929 (tanpa Protokol The Hague 1955). Maka sudah seharusnya pemerintah turun tangan melindungi keluarga korban yang memiliki tiket sekali jalan tujuan akhir Singapura berdasarkan Konvensi Warsawa 1929 mempertimbangkan sifat eksklusivitas konvensi tersebut, dan bukan Permenhub No. 77/2011.

Dengan kurs Dollar Amerika Serikat saat ini, nyatanya Konvensi Warsawa 1929 ‘menghargai’ suatu nyawa lebih rendah daripada Permenhub No. 77/2011 yang ditujukan terutama untuk penerbangan domestik semata. Pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah untuk ikut memberikan dana kompensasi dengan catatan tetap tertib terhadap sistem hukum berlaku. Berlakukan Konvensi Warsawa 1929 (murni, tanpa amandemen melalui the Protokol The Hague 1955) agar adil bagi maskapai penerbangan dan asuransi, lalu hitung selisihnya dengan taraf hidup yang sesuai - misalkan mengacu kepada Permenhub No. 77/2011 - untuk dipertimbangkan apakah Pemerintah akan masuk mengisi kekurangan tersebut. Itikad baik dari Pemerintah selalu diterima selama tidak merugikan pihak lain yang telah taat hukum. Proses yang transparan diperlukan agar tidak memunculkan pertanyaan lanjutan di tengah ketidakpercayaan publik terhadap penanggulangan korupsi di negeri ini: apakah ada permainan antara maskapai penerbangan, regulator, dan pihak asuransi untuk kepentingan pihak tertentu dengan mengorbankan keluarga korban yang mayoritas buta hukum?

Menyedihkan ketika mendengar kewajiban maskapai penerbangan untuk memberikan kompensasi disulap menjadi santunan dan iktikad baik yang kemudian diamini oleh pejabat publik. Pemilik maskapai penerbangan seolah-olah menjadi malaikat penyelamat di tengah mayoritas masyarakat yang masih mencampurkan ranah hukum perdata dengan ajaran agama akan pasrah dan takdir.

Lagi-lagi ‘untungnya’ kecelakaan ini terjadi pada maskapai yang tengah naik daun, beroperasi pada rute internasional, menelan korban WNA, serta ditengah sorotan publik internasional akan keselamatan penerbangan di Indonesia sehingga (kompensasi terhadap keluarga korban) sangat diekspos oleh media massa. Besar dugaan akan adanya lain cerita bagi keluarga korban yang kehilangan anggota keluarganya dalam kecelakaan pesawat terbang pada penerbangan perintis.

Untuk menjadi bangsa dirgantara, sudah saatnya pemerintah bertindak lebih tegas dalam melindungi warga negaranya. Tegakkan aturan yang berlaku, tingkatkan kesadaran hukum para pejabat terkait melalui pendidikan, serta tekankan para pejabat terkait untuk tidak berkomentar terhadap hal yang di luar bidangnya demi menghindari penyesatan publik.

* Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden, dan anggota German Aviation Research Society

Tags:

Berita Terkait