Kompensasi atas Hilangnya Nyawa dalam Kecelakaan Penerbangan Komersial
Kolom

Kompensasi atas Hilangnya Nyawa dalam Kecelakaan Penerbangan Komersial

Menyedihkan ketika mendengar kewajiban maskapai penerbangan untuk memberikan kompensasi disulap menjadi santunan dan iktikad baik yang kemudian diamini oleh pejabat publik.

Bacaan 5 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis

Beroperasi pada ketinggian ribuan kaki di atas daratan dengan kecepatan tinggi, dapat terbayang bagaimana mengerikannya seandainya terjadi kecelakaan pesawat terbang. Hingga saat ini perkembangan teknologi belum dapat menciptakan suatu pesawat terbang yang benar-benar mampu melindungi nyawa para penumpangnya seandainya terjadi kecelakaan fatal.

Terlepas dari kekurangan ini, sebenarnya pesawat terbang adalah salah satu moda transportasi teraman di dunia, dengan catatan segala persyaratan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dipenuhi. Bandingkan saja jumlah kecelakaan pesawat terbang komersial pada tahun ini, yang sejauh ini ‘hanya’ sekitar enam kasus (abaikan insiden bunuh diri pilot German Wings), dengan jumlah kecelakaan mudik Lebaran 2015 yang dalam belasan hari mencapai sekitar tiga ribu kasus dengan ratusan orang meninggal dunia.

Berbicara mengenai keselamatan penerbangan, saat ini dunia terbelah antara yang ‘telah berhasil’ dan ‘belum berhasil’ memenuhi standar keselamatan penerbangan. Sayangnya, ICAO begitu ‘menghargai’ kedaulatan setiap negara untuk menyelenggarakan transportasi udaranya sehingga upaya penyeragaman global guna mencapai tingkat keselamatan penerbangan yang tinggi tidak efektif. Selain berpatokan pada standar ICAO, penilaian tersebut juga berasal dari negara-negara yang dipandang ‘telah berhasil’ memenuhi standar dan menjunjung tinggi keselamatan penerbangan secara konsisten, umumnya melalui keberadaan instrumen hukum terkini maupun penerapannya di lapangan.

Sebut saja Amerika Serikat dengan Federal Aviation Administration (FAA)-nya dan Uni Eropa dengan European Aviation Safety Agency (EASA)-nya. Singkatnya negara yang tidak memenuhi standar FAA atau EASA berarti maskapainya dilarang untuk melintasi wilayah udara Amerika Serikat atau Uni Eropa. Sebagai negara yang berdaulat, tentu saja Indonesia dapat menyangkal atau tidak menggubris penilaian pihak ketiga terhadap tingkat keselamatan penerbangannya. Namun, kenyataannya pemerintah tunduk terhadap penilaian dan permintaan EASA mengingat besarnya potensi dan prestisiusnya pasar Eropa bagi Garuda Indonesia (saat tulisan ini ditulis, maskapai plat merah ini telah terbang kembali ke Amsterdam dan berekspansi ke London).

The Warsaw Convention of 1929 (“Konvensi Warsawa”) dan the Montreal Convention of 1999 (“Konvensi Montreal”) adalah dua konvensi yang dibuat dengan latar belakang kekhawatiran negara-negara barat akan keselamatan warga negaranya ketika terbang dengan maskapai penerbangan dari negara-negara yang dianggap ‘belum berhasil’ memenuhi standar keselamatan penerbangan. Kedua konvensi ini menentukan besaran maksimum ganti kerugian akan hilangnya nyawa dalam satuan Special Drawing Rights (SDR). Konvensi Montreal menetapkan ‘harga’ maksimum suatu nyawa, yaitu 113.000 SDR atau kira-kira setara dengan AS$ 150 ribu, seandainya seorang penumpang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang.

Syaratnya penerbangan tersebut harus menempuh rute internasional dan negara tujuan akhir penumpang tersebut, sebagaimana tertulis pada tiket, telah meratifikasi Konvensi Montreal atau Konvensi Warsawa (‘harga’-nya lebih rendah untuk yang terakhir ini). Maskapai penerbangan menjadi pihak yang bertanggung jawab mutlak (absolute liability) kepada keluarga korban secara langsung, dimana biaya kompensasi dibebankan kepada neraca keuangan maskapai yang pesawat terbangnya mengalami kecelakaan. Tentunya maskapai penerbangan tidak mau dimiskinkan begitu saja, sehingga umumnya penentuan ‘harga’ suatu nyawa harus ditentukan melalui intepretasi hakim di pengadilan.

Pasrah dan Takdir: Kartu As bagi Maskapai Penerbangan di Indonesia untuk Sembunyi dari Tanggung Jawab
Sayangnya tanggung jawab perdata maskapai penerbangan seringkali menjadi kabur ketika bersinggungan dengan kata “pasrah” atau “takdir”, terlebih mengingat hak penumpang maskapai penerbangan selaku konsumen belum tersosialisasikan dengan baik. Saat ini Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 (“Permenhub No. 77/2011”) menjadi landasan pemberian ganti kerugian atas kehilangan nyawa dalam penerbangan domestik di Indonesia, yaitu Rp 1.250.000.000,- per-penumpang. Jumlah ini merupakan suatu batas jika terbukti tidak terdapat kesalahan maupun kelalaian maskapai penerbangan dan/atau agennya.

Besaran ini tidaklah mengada-ada, tepatnya harus dilihat sebagai jaring pengaman bagi keluarga korban yang kehilangan tulang punggungnya (seringkali disebut bread hunter pada forum internasional), agar kehidupan (ekonomi) keluarga yang ditinggalkan dapat berjalan seperti sediakala. Tidak heran jika hal ini menjadi alasan utama bagi pengadilan di berbagai negara dalam memutus maskapai penerbangan untuk memberikan jumlah ganti kerugian maksimum.

Sangat disayangkan dan disesalkan ketika mendengar respon beberapa pihak terkait, terutama pejabat publik, dalam kasus jatuhnya pesawat naas AirAsia QZ 8501 yang merupakan contoh nyata ketidaktahuan dan kekeliruan berpikir dalam konteks hukum udara sehingga berujung kepada penyesatan publik. Jelas sekali dua komponen penting telah terpenuhi, tepatnya (i) penerbangan dari Surabaya ke Singapura merupakan penerbangan internasional; (ii) Singapura telah meratifikasi Konvensi Montreal dan Konvensi Warsawa 1929; dan (iii) Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 tetapi sudah meratifikasi Konvensi Warsawa 1929 (tanpa Protokol The Hague 1955). Maka sudah seharusnya pemerintah turun tangan melindungi keluarga korban yang memiliki tiket sekali jalan tujuan akhir Singapura berdasarkan Konvensi Warsawa 1929 mempertimbangkan sifat eksklusivitas konvensi tersebut, dan bukan Permenhub No. 77/2011.

Dengan kurs Dollar Amerika Serikat saat ini, nyatanya Konvensi Warsawa 1929 ‘menghargai’ suatu nyawa lebih rendah daripada Permenhub No. 77/2011 yang ditujukan terutama untuk penerbangan domestik semata. Pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah untuk ikut memberikan dana kompensasi dengan catatan tetap tertib terhadap sistem hukum berlaku. Berlakukan Konvensi Warsawa 1929 (murni, tanpa amandemen melalui the Protokol The Hague 1955) agar adil bagi maskapai penerbangan dan asuransi, lalu hitung selisihnya dengan taraf hidup yang sesuai - misalkan mengacu kepada Permenhub No. 77/2011 - untuk dipertimbangkan apakah Pemerintah akan masuk mengisi kekurangan tersebut. Itikad baik dari Pemerintah selalu diterima selama tidak merugikan pihak lain yang telah taat hukum. Proses yang transparan diperlukan agar tidak memunculkan pertanyaan lanjutan di tengah ketidakpercayaan publik terhadap penanggulangan korupsi di negeri ini: apakah ada permainan antara maskapai penerbangan, regulator, dan pihak asuransi untuk kepentingan pihak tertentu dengan mengorbankan keluarga korban yang mayoritas buta hukum?

Menyedihkan ketika mendengar kewajiban maskapai penerbangan untuk memberikan kompensasi disulap menjadi santunan dan iktikad baik yang kemudian diamini oleh pejabat publik. Pemilik maskapai penerbangan seolah-olah menjadi malaikat penyelamat di tengah mayoritas masyarakat yang masih mencampurkan ranah hukum perdata dengan ajaran agama akan pasrah dan takdir.

Lagi-lagi ‘untungnya’ kecelakaan ini terjadi pada maskapai yang tengah naik daun, beroperasi pada rute internasional, menelan korban WNA, serta ditengah sorotan publik internasional akan keselamatan penerbangan di Indonesia sehingga (kompensasi terhadap keluarga korban) sangat diekspos oleh media massa. Besar dugaan akan adanya lain cerita bagi keluarga korban yang kehilangan anggota keluarganya dalam kecelakaan pesawat terbang pada penerbangan perintis.

Untuk menjadi bangsa dirgantara, sudah saatnya pemerintah bertindak lebih tegas dalam melindungi warga negaranya. Tegakkan aturan yang berlaku, tingkatkan kesadaran hukum para pejabat terkait melalui pendidikan, serta tekankan para pejabat terkait untuk tidak berkomentar terhadap hal yang di luar bidangnya demi menghindari penyesatan publik.

* Alumnus International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden, dan anggota German Aviation Research Society

Tags:

Berita Terkait