Komisi Yudisial Tak Perlu Ikut Menyusun Substansi Kode Etik Hakim
Berita

Komisi Yudisial Tak Perlu Ikut Menyusun Substansi Kode Etik Hakim

Salah satu langkah yang akan diambil Komisi Yudisial adalah berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk menyusun kode etik dan prilaku hakim. Tetapi, langkah itu menuai kritik. Mengapa?

Mys
Bacaan 2 Menit
Komisi Yudisial Tak Perlu Ikut Menyusun Substansi Kode Etik Hakim
Hukumonline

 

Pertama, koordinasi baik pada tataran ide/konsep hingga teknis penyusunan kode etik dan prilaku hakim, sangat mungkin terjadi saling pengertian, saling memahami. Dan pada akhirnya ‘berkompromi' untuk melihat hal-hal apa saja yang dapat dirumuskan dalam kode etik dan prilaku hakim.

 

Kedua, koordinasi dalam penyusunan kode etik dan prilaku hakim di satu sisi akan menguntungkan para hakim, dan di sisi lain akan mereduksi prinsip independensi KY. Prinsip independensi KY secara perseorangan dan institusional sudah ditegaskan dalam Konstitusi.

 

Ketiga, dalam menyusun kode etik dan prilaku hakim seharusnya para pihak mendengar dan menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Jika hanya mendengar suara hakim-hakim MA dan MK, tanpa melibatkan atau mendengar aspirasi masyarakat, koordinasi itu menjadi elitis.

 

Meskipun demikian, belum jelas kapan rencana pertemuan segi tiga KY-MA-MK berlangsung. Apalagi para anggota KY baru dilantik dan tidak sedikit agenda yang hendak mereka laksanakan. Yang pasti, dalam pelantikan kemarin anggota Komisi Yudisial sudah membuat komitmen moral. Komitmen moral yang dideklarasikan ketujuh anggota KY adalah mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada Tuhan dan rakyat; bekerja dengan semangat beribadah; komitmen bersama untuk mengutamakan kejujuran, akhlak, profesionalisme, akuntabilitas dan sikap teladan kepemimpinan.  

 

Ketujuh anggota yang sudah berkomitmen itu adalah Zainal Arifin, Irawadi Joenoes, Tahir Saimima, Prof. Chatamarrasjid, Busyro Muqoddas, Mustafa Abdullah dan Soekotjo Soeparto.

 

Setelah lama tertunda, akhirnya Presiden melantik ketujuh anggota Komisi Yudisial Selasa (2/08). Dengan pelantikan di Istana Negara itu berarti Komisi Yudisial (KY) secara resmi dapat memulai tugas-tugasnya. Salah satu tugas mereka dalam waktu dekat adalah berkoordinasi dengan dua pemegang kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

 

Koordinasi dengan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) itu merupakan salah satu target 10 bulan pertama bagi KY. Toh, rencana koordinasi dalam penyusunan kode etik dan prilaku hakim itu menuai kritik.

 

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional berpendapat bahwa rencana koordinasi itu tidak patut dilakukan KY. Ada kekhawatiran bila anggota KY terpengaruh oleh pandangan dan pemikiran tentang kode etik dan prilaku hakim dari MK dan MA. Padahal, tugas KY adalah mengawasi hakim-hakim yang ada di kedua lembaga tersebut.

 

Pandangan senada juga datang dari Ahsin Thohari. Penulis buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan itu mengingatkan bahwa suatu kode etik sejatinya disusun oleh anggota organisasi dimana kode etik itu akan berlaku. Kalaupun KY berkoordinasi dengan MA dan MK dalam menyusun kode etik dan prilaku hakim, sifatnya informal dan memantau. Ahsin tidak sepakat jika KY ikut terlibat secara intens menyusun substansi dari kode etik dan prilaku hakim. KY harus tetap pada koridor mengawasi pelaksanaan kode etik dan prilaku yang dibuat sendiri oleh para hakim, ujarnya. 

 

Tiga alasan

Menurut Firmansyah Arifin, Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), ada tiga alasan mengapa rencana koordinasi KY dengan MA dan MK itu tidak patut dilakukan.

Tags: