Hal lain yang diusulkan oleh LeIP adalah wewenang Komisi Yudisial untuk menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertutup dan terbuka. Pasalnya, untuk sanksi sedang dan berat, sesuai UU, Komisi Yudisial hanya dapat mengusulkan sanksi tersebut pada MA dan presiden.
Diusulkan pula agar komisi Yudisial mempunyai wewenang untuk meminta data laporan periodik pengadilan dan membuka catatan persidangan. Kedua hal ini, menurut Rifqi, harus disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang untuk mengantisipasi adanya resistensi dari pengadilan.
"Laporan periodik pengadilan sangat penting untuk tugas komisi karena pengadilan mempunyai data perkara, majelis hakimnya dan pengacaranya. Dari situ bisa ditelusuri perkara-perkara dimana hakim dan pengacaranya selalu sama sebagai indikasi awal adanya KKN," kata Rifqi. Selain itu catatan persidangan dapat digunakan untuk melihat dissenting opinion dari seorang hakim dalam rangka melihat track record hakim tersebut.
Pada kesempatan yang sama, LeIP juga meminta agar anggota Komisi Yudisial dari kalangan mantan hakim atau hakim agung dibatasi jumlahya sehingga mereka tidak mendominasi komisi tersebut. Juga diusulkan perlunya sanksi pidana jika hakim atau pihak lain tidak mau kooperatif dengan Komisi Yudisial.
Seleksi hakim agung
Sementara itu, usai rapat dengan DPR, Rifqi juga meminta agar DPR diminta tidak melakukan proses pemilihan hakim agung sampai terbentuknya Komisi Yudisial. Namun, jika kebutuhan sudah mendesak, DPR dapat melakukan pemilihan saat ini. hanya saja jumlah hakim yang dipilih harus sangat sedikit.
Menurut Rifqi, sesuai pasal 24 B UUD 1945, Komisi Yudisial bertugas mengusulkan pengangkatan hakim agung. Mengingat RUU Komisi Yudisial akan segera dibahas oleh DPR, maka menurutnya akan sangat baik bila proses seleksi hakim agung yang akan dilakukan menunggu terbentuknya Komisi Yudisial terlebih dulu. Seperti diketahui, Mahkamah Agung telah menyerahkan 44 nama calon hakim agung untuk diseleksi pada masa sidang kali ini.
Rifqi mengakui adanya masalah kekurangan hakim di Mahkamah Agung. Karena itu, jika kebutuhan hakim agung di MA sangat mendesak, ia mengusulkan agar DPR hanya memilih hakim agung sesedikit mungkin, sesuai kebutuhan yang mendesak tersebut. Sementara, hakim agung lainnya dipilih sesudah terbentuknya Komisi Yudisial.