Komisi Yudisial Harus Diberi Kewenangan Memeriksa Hakim
Utama

Komisi Yudisial Harus Diberi Kewenangan Memeriksa Hakim

Selain mempunyai wewenang pengawasan, Komisi Yudisial juga harus diberi kewenangan untuk memeriksa hakim yang diduga melakukan pelanggaran. Jika kewenangan pemeriksaan tetap ada pada Majelis Kehormatan Hakim, dikhawatirkan fungsi Komisi Yudisial akan sia-sia.

Nay
Bacaan 2 Menit
Komisi Yudisial Harus Diberi Kewenangan Memeriksa Hakim
Hukumonline

 

Hal lain yang diusulkan oleh LeIP adalah wewenang Komisi Yudisial untuk menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertutup dan terbuka. Pasalnya, untuk  sanksi sedang dan berat, sesuai UU, Komisi Yudisial hanya dapat mengusulkan sanksi tersebut pada MA dan presiden.

 

Diusulkan pula agar komisi Yudisial mempunyai wewenang untuk meminta data laporan periodik pengadilan dan membuka catatan persidangan. Kedua hal ini, menurut Rifqi, harus disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang untuk mengantisipasi adanya resistensi dari pengadilan.

 

"Laporan periodik pengadilan sangat penting untuk tugas komisi karena pengadilan mempunyai data perkara, majelis hakimnya dan pengacaranya. Dari situ bisa ditelusuri perkara-perkara dimana hakim dan pengacaranya selalu sama sebagai indikasi awal adanya KKN," kata Rifqi. Selain itu catatan persidangan dapat digunakan untuk melihat dissenting opinion dari seorang hakim dalam rangka melihat track record hakim tersebut.      

 

Pada kesempatan yang sama, LeIP juga meminta agar anggota Komisi Yudisial dari kalangan mantan hakim atau hakim agung dibatasi jumlahya sehingga mereka tidak mendominasi komisi tersebut. Juga diusulkan perlunya sanksi pidana jika hakim atau pihak lain tidak mau kooperatif dengan Komisi Yudisial.  

 

Seleksi hakim agung

Sementara itu, usai rapat dengan DPR, Rifqi juga meminta agar DPR diminta tidak melakukan proses pemilihan hakim agung sampai terbentuknya Komisi Yudisial. Namun, jika kebutuhan sudah mendesak, DPR dapat melakukan pemilihan saat ini. hanya saja jumlah hakim yang dipilih harus sangat sedikit.

 

Menurut Rifqi, sesuai pasal 24 B UUD 1945, Komisi Yudisial bertugas mengusulkan pengangkatan hakim agung. Mengingat RUU Komisi Yudisial akan segera dibahas oleh DPR, maka menurutnya akan sangat baik bila proses seleksi hakim agung yang akan dilakukan menunggu terbentuknya Komisi Yudisial terlebih dulu. Seperti diketahui, Mahkamah Agung telah menyerahkan 44 nama calon hakim agung untuk diseleksi pada masa sidang kali ini.

 

Rifqi mengakui adanya masalah kekurangan hakim di Mahkamah Agung. Karena itu, jika kebutuhan hakim agung di MA sangat mendesak, ia mengusulkan agar DPR hanya memilih hakim agung sesedikit mungkin, sesuai kebutuhan yang mendesak tersebut. Sementara, hakim agung lainnya dipilih sesudah terbentuknya Komisi Yudisial.

 

Ia juga mempertanyakan jumlah calon hakim agung yang diusulkan MA, yang mencapai 44 orang. Pasalnya, dalam  UU No 14 Tahun 1985 disebutkan MA mengusulkan dua kali jumlah calon yang dibutuhkan.

 

Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, kepada hukumonline menyatakan bahwa pemilihan hakim agung tidak akan menunggu terbentuknya Komisi Yudisial. Zain berpegang pada UU No 5 tahun 2004 tentang MA yang menyatakan bahwa sebelum Komisi Yudisial terbentuk, maka MA dapat mengajukan calon ke DPR. Menurutnya, yang menjadi masalah apakah komisi II DPR sempat untuk melakukan seleksi hakim agung pada masa sidang sekarang. "Tergantung komisi II, apa akan menunda (pembahasan) karena ada prioritas lain atau melakukannya saat ini,"ujarnya.

Hal ini dikemukakan oleh Sekretaris Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi peradilan (LeIP), Rifqi Sjarief Assegaf, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum RUU Komisi Yudisial dengan Badan Legislasi DPR, Senin (10/05).

 

Rifqi menyatakan, hakekat Komisi Yudisial (KY) akan hilang bila lembaga tersebut hanya berwenang mengawasi hakim, sementara kewenangan untuk memeriksa hakim tetap ada pada majelis kehormatan Hakim. 'Hampir percuma bila KY mempunyai fungsi pengawasan tetapi ending-nya tetap ada di Majelis Kehormatan Hakim," ujar Rifqi.

 

Ia lalu mencontohkan kasus-kasus dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh hakim yang kandas di Majelis Kehormatan karena majelis menyatakan bahwa hakim tersebut tidak bersalah. Menurutnya, pengawas internal akan cenderung untuk membela korpsnya sendiri, karena itu diperlukan pengawasan dari luar lembaga tersebut.

 

Meski UU No 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung tetap memberi kewenangan pada majelis kehormatan, Rifqi menganggap hal tersebut tidak menghilangkan kewenangan Komisi Yudisial. Menurutnya, fungsi pengawasan terdiri dari pengawasan terhadap teknis yudisal dan pengawasan terhadap perilaku hakim, baik dalam sidang pengadilan maupun di luar pengadilan.

 

Pengawasan terhadap perilaku hakim, baik di dalam maupun diluar pengadilan, menjadi yurisdiksi KY. Sedang majelis kehormatan memeriksa pelanggaran yang berkenan dengan teknis yudisial.

Halaman Selanjutnya:
Tags: