Komentar Dua Guru Besar atas Perppu Penanganan Covid-19
Berita

Komentar Dua Guru Besar atas Perppu Penanganan Covid-19

Perppu No. 1 Tahun 2020 dinilai bermasalah secara fungsi keberlakuannya; fungsi anggaran DPR bakal hilang jika Perppu disetujui DPR; hingga hak imunitas pejabat pelaksana penanganan Covid-19.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang tiga permohonan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, Selasa (28/4/2020) besok. Persidangan bakal digelar secara konvensional dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19.  

 

Sejumlah elemen masyarakat menguji Perppu No.1/2020. Pemohon pertama Perkumpulan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, KEMAKI, LP3HI, dan PEKA. Pemohon kedua, Din Syamsuddin, Amien Rais, Sri Edi Swasono, dan kawan-kawan (dkk). Pemohon ketiga dimohonkan oleh Damai Hari Lubis.   

 

Intinya, ketiga permohonan tersebut menilai Pasal 27 Perppu No. 1/2020 berpotensi menjadikan pejabat pemerintah atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) kebal hukum. Hal tersebut karena Pasal 27 Perppu No. 1/2020 menyebut KSSK atau pejabat pelaksana Perppu tersebut tidak dapat dituntut baik secara pidana dan perdata, (Baca Juga: 28 April, MK Gelar Sidang Tiga Pengujian Perppu Covid-19).

 

Ketiga permohonan Perppu Penanganan Covid-19 ini pun mendapat perhatian dua guru besar hukum tata negara perempuan yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Maria Farida Indrati dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung Prof Susi Dwi Harijanti.

 

Maria melihat Perppu No. 1 Tahun 2020 yang diundangkan 31 Maret 2020 terdiri dari 31 halaman ini sedang diuji ke MK. Dia menjelaskan saat ini Perppu No. 1 Tahun 2020 telah berlaku sebagaimana layaknya UU karena sudah diundangkan. Meskipun Perppu ini masih perlu persetujuan atau penolakan oleh DPR dan tengah diuji di MK. 

 

Menurut Maria, kalau DPR menolak tentu kembali ke keadaan semula (tidak ada regulasi Covid-19, red). Kalau disetujui/diterima DPR, fungsi anggaran DPR pun hilang dan persoalan aturan Perppu lain tetap berlaku. “DPR tidak boleh menerima sebagian atau menolak sebagian (harus menyetujui atau menolak, red). Tapi, saat ini Perppu sedang diuji ke MK (putusan bisa dikabulkan/ditolak sebagian, red),” kata Maria dalam sebuah diskusi daring di Jakarta.   

 

Namun begitu, menurut Maria, Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah bermasalah secara fungsi keberlakuannya. Seharusnya peraturan berlaku untuk waktu yang sangat lama, bukan sesaat. Tapi dalam Perppu itu seolah berlaku selama menangani pandemi Covid-19. "Apakah semua peraturan ini berlaku terus-menerus? Saya khawatir soal pengaturan (Perppu, red) ke depan. Tapi di sana dikatakan untuk pandemi virus Corona. Bagaimana bila pandemi Covid-19 sudah selesai?" 

 

Menurutnya, seharusnya dalam Perppu tidak menyebut Covid-19, tapi cukup dengan menyebutkan frasa “wabah nasional”. "Kenapa tidak pakai frasa wabah nasional? Sekarang Perppu itu masih berlaku karena masih ada virus Corona. Tapi, bila Covid-19 selesai, bagaimana? harus benar-benar kita kaji betul-betul Perppu Covid-19 ini,” ujar Mantan Hakim MK dua periode ini.

 

Sementara Prof Susi Dwi Harijanti menilai Pasal 22 UUD Tahun 1945 sebagai extra ordinary rules dimana Presiden diberikan kewenangan membuat Perppu dengan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Menurutnya, materi muatan Perppu tidak boleh sama dengan materi muatan UU, karena perppu umumnya menyangkut persoalan administrasi negara. “Jika materi muatan Perppu sama dengan materi muatan UU, ia telah mengamputasi demokrasi,” kata Susi.

 

Susi pun menyoroti Pasal 27 ayat (3) dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 yang saat ini sedang diuji di MK dimana para pejabat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Sesuai Pasal 27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020, orang tidak bisa dapat dituntut/digugat secara pidana, perdata, atau tata usaha negara.  

 

“Bagaimana bisa sebuah Perppu mengatur kompetensi cabang kekuasaan kehakiman? Eksekutif tidak boleh ikut campur dalam urusan yudikatif, nanti lama-lama bisa mencampuri urusan legislatif juga kalau seperti itu,” kata Susi.

 

“Jadi kalau (pejabat terkait, red) sudah menjalankan sesuai Perppu, para pejabat itu tidak dapat dituntut. Pasal Ini ada persoalan. Apa betul ketentuan ini sebagai bentuk ketakutan seperti kasus bailout Century?”

 

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan MPR sedang mengkaji Perppu penanganan pandemi Covid-19 tersebut, khususnya menyangkut hak imunitas dan hak anggaran (DPR).Bamsoet mengatakan pihaknya tidak ingin pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menuai permasalahan di kemudian hari seperti yang pernah terjadi pada Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang membuat skandal bailout Bank Century.

 


"Kami tidak ingin seperti Perppu Nomor 4 Tahun 2008, dari hasil akhir laporan BPK memuat kerugian negara bukan Rp6,7 triliun melainkan mencapai Rp7,4 triliun," ujarnya. Baca Juga: Sejumlah Catatan MPR atas Perppu No. 1/2020

 

Politisi Partai Golkar itu menilai pemerintah perlu mengambil pelajaran dari pelaksanaan Perppu No.4/2008 antara lain melakukan integrasi data, fair treatment (perlakuan yang adil) yang tidak parsial, tidak keluar dari general rules (aturan umum) dan best practices (praktek terbaik).

 

Selain itu, mengembangkan blacklist (daftar hitam) untuk memastikan bad actor (aktor jahat) tidak mendapatkan manfaat dari Perppu tersebut dan mitigasi agar tidak ada penumpang gelap yang mencari celah untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan memanfaatkan situasi kedaruratan.

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait