Kisah di Balik Ketertarikan Profesor Indonesianis pada Hukum Indonesia
Utama

Kisah di Balik Ketertarikan Profesor Indonesianis pada Hukum Indonesia

Mulai dari datang ke Indonesia, ikut unjuk rasa saat reformasi, hingga menikah dengan orang Indonesia.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Kolase empat Indonesianis yang banyak mengkaji hukum Indonesia. Foto: HOL
Kolase empat Indonesianis yang banyak mengkaji hukum Indonesia. Foto: HOL

Perkembangan ilmu hukum di Indonesia tidak lepas dari sejarah panjang penjajahan oleh bangsa asing. Belanda tercatat yang paling lama berada di beberapa wilayah Indonesia saat mendirikan koloni Hindia-Belanda. Dari mereka pula Indonesia menyusun dasar-dasar ilmu hukum yang kini dipelajari di berbagai kampus hukum tanah air.

Nama-nama seperti Paul Scholten, Van Vollenhoven, Ter Haar, atau D.A. Logeman  masih muncul dalam pengajaran ilmu hukum di Indonesia. Para begawan hukum Indonesia pun mengakui bahwa sistem hukum Indonesia adalah perpaduan dari hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat dari Belanda.

Sebuah buku karya Guru Besar Hukum kenamaan Soetandyo Wignjosoebroto menggambarkan dengan cukup baik perjalanan sejarah itu. Buku berjudul Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia itu masih menjadi rujukan penting hingga kini.

Pasca kemerdekaan, muncul istilah Indonesianis untuk menunjuk orang-orang asing yang menjadi pengkaji berbagai aspek tentang Indonesia. Mulai dari aspek politik, budaya, hingga hukum menjadi topik-topik yang ditekuni. Beberapa nama yang pemikirannya berpengaruh pada dunia hukum Indonesia adalah Daniel Saul Lev dan Sebastian Pompe. Yang pertama dikenal banyak menulis tentang advokat dan politik hukum, dan yang kedua tentang Mahkamah Agung.

Kali ini hukumonline menghimpun beberapa nama Profesor Indonesianis yang khusus menekuni hukum Indonesia. Sosok mereka kerap muncul dalam forum ilmiah atau literatur kontemporer tentang hukum Indonesia.

Tentu saja tak ada maksud melanggengkan mitos white supremacy, inferiority complex, apalagi mental inlander saat hukumonline mengulas sosok mereka. Bagi hukumonline sosok mereka sama dengan para ahli hukum lainnya. Hanya saja pemikiran mereka sebagai orang luar Indonesia sangat penting disimak untuk melengkapi sudut pandang. Nah, berikut ini profil singkat beserta kisah empat profesor hukum di luar negeri yang mengaku jatuh hati pada hukum Indonesia.

1.Tim Lindsey, Professor of Indonesian Law, The University of Melbourne

Timothy Charles Lindsey sempat populer saat pendapatnya dikutip dalam sengketa hasil pemilihan Presiden tahun 2019 lalu. Ahli hukum asal Australia ini mengaku berkenalan dengan Indonesia sejak tahun ketujuh bersekolah. Kalau mau masuk universitas, pada waktu itu harus ada studi matematika atau studi bahasa. Matematika saya lemah sekali jadi saya tidak ada pilihan, harus ambil studi bahasa,” Tim menuturkan awal perkenalannya dengan Indonesia.

Secara jujur Tim mengaku ‘terbuang’ ke kelas Bahasa Indonesia karena beban studi Bahasa Prancis dan Bahasa Jerman tidak bisa ia sanggupi. Ia lalu kagum dengan guru bahasanya yang seorang campuran Rusia-Prancis namun sangat lancar berbahasa Indonesia. Dia mengatur semacam homestay di Indonesia. Saya masih berumur 14 tahun, dibawa ke Purwokerto. Itu pengalaman pertama saya di luar Australia dan dampaknya luar biasa,” tutur Tim. Tiga bulan di Purwokerto pada tahun 70an memberikan kesan mendalam baginya. Sepulang dari sana, saya sudah jatuh cinta dengan Indonesia, sampai sekarang saya seperti orang yang diinfeksi dengan ‘virus’ Indonesia, masih sakit sampai saat ini,” katanya tertawa. Tim kemudian memutuskan mengambil dua perkuliahan yaitu studi hukum dan studi Indonesia di University of Melbourne.

Ia tidak pernah merencanakan akan menjadi ahli hukum Indonesia. Pilihannya mengambil studi Indonesia di universitas semata-mata suka pada bahasa Indonesia. Saya seperti menempuh dua jalan saat kuliah, belum ada jembatan untuk keduanya saat itu,” ujar Tim. Selepas kuliah, ia berkarier di firma hukum Australia paling besar kala itu. Bahkan Tim masih mengantongi izin praktik Barrister & Solicitor hingga sekarang.

Sambil berprofesi lawyer, Tim justru melanjutkan studi Indonesia hingga doktor di kampus yang sama. Disertasinya tentang riwayat hidup seorang Skotlandia-Amerika yang diberi nama K’tut Tantri oleh Raja Bangli di Bali.  Ia juga pernah menjadi dosen paruh waktu untuk studi Indonesia.

Jalan hidupnya berubah total berkat ‘bujuk rayu’ Profesor Malcolm Smith, dosennya saat kuliah hukum.Dia mengajar saya dalam studi hukum Jepang. Dia pelopor studi hukum Asia di Australia, pendiri pusat kajian hukum Asia pertama di Australia,” Tim menjelaskan. Dosennya itu melihat Tim sebagai sosok yang tepat untuk merintis proyek kajian hukum Indonesia. “Dia menghubungi saya ke firma hukum, saya bilang tidak mau, saya tidak tertarik dengan sistem hukum Indonesia, lalu kami makan siang bersama dan akhirnya saya setuju,” kata Tim sambil tertawa. Dua dekade berlalu sejak makan siang itu, kini Tim menyandang gelar profesor bidang hukum Indonesia. Ia bahkan juga menjadi mentor bagi Simon Butt, profesor bidang hukum Indonesia lainnya di Australia.

Hukum Indonesia akhirnya menjadi jembatan antara dua jalan hidup saya. Saya praktisi hukum sekaligus akademisi,” Tim menambahkan. Sudah banyak buku dan karya ilmiah yang dihasilkannya tentang hukum Indonesia.

Tim juga kerap diminta sebagai ahli di persidangan luar negeri tentang sistem hukum Indonesia. Ia tidak mengira akan meninggalkan karier lawyer bidang hak kekayaan intelektual pada hukum Australia. Tim mengaku dirinya sudah tidak ingat lagi seluk beluk hukum Australia.

Ia menceritakan pengalaman lucu dengan anaknya yang sekarang juga kuliah hukum. Menurut Tim, anaknya lebih tahu tentang hukum Australia dibandingkan dirinya. Setiap dia bertanya, saya bilang tahu jawabannya kalau berdasarkan hukum Indonesia. Kalau hukum Australia saya sudah lupa,” kata Tim tergelak.

Ketika ditanya pendapat mengenai hukumonline, ia mengatakan, Sejak awal, hukumonline ini sumber ilmu tentang hukum yang tidak ada duanya di Indonesia”. Tim adalah salah satu pembaca setia hukumonline. Langkah pertama saya selalu ke hukumonline kalau mau cari sesuatu tentang hukum Indonesia: komentar, opini, atau sumber peraturan perundang-undangan,” ujarnya. Pesannya untuk hukumonline sangat singkat, Just keep doing what you do. You do really well!”.

2.Yuzuru Shimada, Professor of Law and Development Studies, Nagoya University

Minat Yuzuru pada hukum Indonesia muncul karena membaca berita kecil di pojok surat kabar Jepang. “Kecil sekali beritanya, ya kebetulan saya ketemu itu. Kalau tidak ketemu ya tidak jadi,” katanya sembari tertawa. Berita tersebut tentang pembredelan Majalah Tempo oleh Pemerintah.

Selanjutnya Yuzuru merasa takjub atas kemenangan awak Majalah Tempo yang menggugat pembredelan izin terbit majalah itu. Pengadilan Tata Usaha Negara membuat putusan yang menyatakan Pemerintah bersalah. “Mana mungkin di negara diktator militer itu wartawan bisa menang terhadap pemerintah,” ujarnya.

Ia mengaku pengetahuannya tentang Indonesia masih sangat sedikit saat itu. Imajinasinya soal Indonesia adalah sebuah negara yang dipimpin rezim diktator militer. Tentu saja kekalahan Pemerintah di pengadilan menjadi anomali yang sangat penting.

“Waktu sarjana saya belajar tentang hukum internasional di bidang hak asasi manusia, setelah itu saya mau fokus pada hak asasi manusia di negara berkembang,” kata pria yang lulus dari fakultas hukum di Kanazawa University ini. Ia kemudian melanjutkan magister di Graduate School of International Development, Nagoya University pada tahun 1993 dan mulai menulis disertasi di kampus yang sama tahun 1995.

Yuzuru Shimada tak peduli bahwa surat yang ia kirim lewat faksimile ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia belum juga dibalas. Ia nekat langsung datang berkunjung pada 1995 silam demi merampungkan disertasi yang tengah ditulis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjadi tempat tujuannya untuk bertemu Profesor Mardjono Reksodiputro (ahli hukum pidana Universitas Indonesia-red).

Saya tidak bisa Bahasa Indonesia sama sekali. Langsung datang.  Saya kirim surat kepada Profesor Mardjono Reksodiputro karena dia menulis tentang pers kan,” ia mengenang kunjungan pertamanya ke Indonesia. Nahas, beberapa jam menunggu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ternyata ia tidak bisa berjumpa dengan orang yang dicari.

“Ya karena dosen di Jepang pasti setiap hari datang ke kampus, makanya pasti bisa ketemu. Ternyata tidak bisa ketemu,” ujar Yuzuru diselingi tawa. Profesor Harkristuti Harkrisnowo (ahli hukum pidana Universitas Indonesia-red) yang kala itu menyapanya di ruang tunggu dan mempertemukan dengan almarhum Rudi Satrio Mukantarjo (ahli hukum pidana Universitas Indonesia-red) sebagai narasumber alternatif.

Beasiswa dari Japan Foundation membuat Yuzuru bisa kembali ke Indonesia tahun 1997. Ia melakukan penelitian selama setahun hingga tahun 1998 di Universitas Gadjah Mada. Judul disertasinya sempat ditolak karena dianggap mengancam misi persahabatan Jepang-Indonesia. Beasiswa untuk Yuzuru sempat dibatalkan.

“Penelitian saya tentang kebebasan pers Indonesia ya, makanya kantor perwakilan Japan Foundation di Jakarta menentang penelitian saya,” Yuzuru menambahkan. Akhirnya ia menerima saran koleganya untuk mengganti judul yang lebih aman. “Tapi saya tetap penelitian tentang kebebasan pers di sini sampai tahun 1998 pas jelang reformasi. Saya berangkat dari Indonesia Maret 1998 dan di Mei 1998 ada kerusuhan,” ia menambahkan.

Yuzuru sempat merasakan langsung ketegangan jelang reformasi. Ia mengaku pernah tidak ikut kuliah karena ikut aksi unjuk rasa bersama mahasiswa Indonesia. “Menarik sekali, karena setiap hari demo, saya juga pernah ikut demo, di Jogja itu demo aman kan,” katanya.

Tidak hanya pengalaman dan bahan penelitian untuk gelar doktor yang dibawanya kembali ke Jepang. Yuzuru juga membawa seorang perempuan asal Sleman, Yogyakarta sebagai istrinya. Ia pernah berseloroh, “Saya tidak bertanggung jawab untuk perbuatan pemerintah Jepang ke Indonesia di masa lalu, tapi saya bertanggung jawab penuh untuk satu perempuan Indonesia yang saya bawa ke Jepang.”

Yuzuru menyampaikan apresiasinya pada hukumonline, Untuk konten hukum memang hukumonline lebih membantu”. Ia mengaku sudah membaca hukumonline setiap minggu sejak tahun 2000. Bahkan ia tidak ragu mempromosikan hukumonline sebagai rujukan tentang hukum Indonesia, Di Jepang saya sering menulis tentang bagaimana mendapat informasi hukum Indonesia, saya selalu mengacu database hukumonline,” pungkasnya.

3.Simon Butt, Professor of Indonesian Law, The University of Sydney

Berawal dari terjebak harus memilih kelas bahasa Indonesia di sekolah menengah pertama, Simon Andrew Butt saat ini menjadi Professor of Indonesian Law di Sydney Law School, The University of Sydney. “Saya mau melanjutkan belajar bahasa Prancis tetapi kelasnya full, saya terpaksa ambil kelas bahasa Indonesia,” kata ahli hukum yang akrab disapa Simon ini kepada hukumonline sembari tertawa.

Menurut Simon, pada masa itu cukup banyak sekolah umum di Australia menyediakan kelas bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran pilihan. “Karena gurunya juga bagus, itu membuat saya mulai belajar mengenai Indonesia. Lama kelamaan bisa dikatakan jatuh cinta,” ujarnya.

Simon pertama kali berkunjung ke Indonesia sebagai siswa sekolah menengah atas dalam tur studi sekolah. Bersama teman-teman sekelasnya ia berkunjung ke Ubud, Bali. Mulai dari wisata hingga belajar pencak silat menjadi kenangan Simon tentang Ubud yang masih bernuansa pedesaan.

Memasuki pendidikan tinggi di Australian National University, Simon mengambil studi tentang bahasa Indonesia bersamaan dengan studi hukum. Selama studi sarjana ini Simon kembali berkunjung ke Indonesia di tahun 1995 melalui program The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies (ACICIS). Ia belajar hukum Indonesia secara langsung di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Semacam pertukaran mahasiswa, waktu itu saya angkatan pertama ACICIS,” katanya.

Menyelesaikan studi sarjana di Australian National University dengan nilai tinggi, Simon berhak mengikuti program doktor tanpa perlu melewati jenjang magister. “Saya dapat nilai cukup bagus, lalu saya lanjutkan doktor dengan fokus hukum Indonesia. Topik saya tentang MK,” katanya.

Ia menuntaskan pendidikan doktor di University of Melbourne lewat bimbingan langsung Tim Lindsey. Bersama mentornya itu, Simon banyak berduet menulis karya tentang hukum Indonesia. Belum lama ini mereka menulis buku berjudul Indonesian Law. Buku yang diterbitkan  tahun 2018 lalu oleh Oxford University Press itu melengkapi literatur internasional tentang pengantar hukum Indonesia.

Menjadi seorang profesor hukum, Simon seolah meneruskan jejak ayahnya, Peter Butt, yang juga profesor bidang hukum agraria di Sydney Law School. Pada awalnya Simon tertarik meneliti pengadilan negeri di Indonesia. Ketertarikannya meneliti MK berawal dari putusan MK berkaitan kasus bom Bali. MK menyatakan UU No.16 Tahun 2003 yang memberlakukan Perppu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak berlaku mengikat. “Itu menarik perhatian banyak orang Australia dan membuat saya mengubah fokus. Sejak saat itu saya banyak menulis tentang hukum Indonesia khususnya konstitusionalisme dan Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Simon mengatakan sudah membaca hukumonline sejak lama. “Mungkin pada hari pertama hukumonline itu terbit. Menyediakan berita hukum yang cukup dalam dan analisisnya lebih bagus dari media lain, dapat dipercayai.” katanya.

Ia pun mengaku lebih yakin untuk memeriksa koleksi peraturan perundang-undangan di pusat data hukumonline sebelum mengutipnya dalam karya ilmiah. “Jadi daripada saya ke situs web pemerintah atau fakultas hukum atau yang lain, saya selalu ke hukumonline untuk versi yang dapat dipercayai,” ujarnya.

Secara khusus Simon memberikan pesannya untuk hukumonline, “Tetap berjuang melakukan kinerja yang sudah dicapai. Jangan sampai kehilangan momentum yang sudah bagus sekali. Keep moving forward!,” kata Simon. 

4.Adriaan Bedner, Professor of Law and Society in Indonesia, Universiteit Leiden

Saya sangat tertarik karena mertua saya berasal dari Indonesia. Saya kenal dengan istri tahun 1988,” kata Adriaan Willem Bedner mengawali kisahnya kepada hukumonline. Adriaan mengaku belum tertarik pada hukum Indonesia saat memulai studi hukum di Universitas Amsterdam. Bahkan tidak ada perkuliahan terkait hukum Indonesia di sana.

Kisah cintanya dengan perempuan berdarah Indonesia mengubah jalan hidupnya hingga akhirnya menekuni hukum Indonesia. Adriaan rela repot-repot datang ke Universiteit Leiden untuk memenuhi minatnya belajar hukum Indonesia. Saya dapat informasi bahwa bisa ambil mata kuliah hukum Indonesia di Leiden, Van Vollenhoven Institute. Jadi saya pertama kali ke sana tahun 1991,” ujarnya.

(Baca juga: Kala Profesor Hukum Belanda Klarifikasi warisan Hukum Belanda di Indonesia).

Belum ada jenjang LL.B. dan LL.M saat ia kuliah hukum. Gelarnya masih Meester in de Rechten yang setara magister saat Adriaan selesai studi di Universitas Amsterdam tahun 1992. Ia langsung mendapat tawaran studi doktor tentang peradilan tata usaha negara Indonesia yang baru saja dibuat. Adriaan tertarik pada kasus pertanahan, kepegawaian, dan yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Fokus saya lebih ke hukum administrasi, saya juga tertarik ke pidana,” katanya.

Bersamaan itu istri Adriaan juga ingin melanjutkan studi ke Indonesia. Tahun 1994 ia bersama istri dan anaknya pindah ke Bandung. Adriaan mengaku rajin bersepeda atau naik angkot ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jalan Diponegoro kala itu. Tiap hari saya naik sepeda, waktu itu masih bisa, atau naik angkot ke PTUN di Jalan Diponegoro. Di sana saya pelajari putusan-putusan PTUN, wawancara hakim-hakim, main ping pong dengan pegawai pengadilan,” Adriaan melanjutkan ceritanya.

Tidak hanya karena pernikahan, Adriaan rupanya sudah mengenal Indonesia lewat neneknya. Neneknya lahir dan pernah tinggal di Indonesia. “Waktu saya masih anak-anak nenek saya suka cerita soal Indonesia. Nenek saya pergi ke Belanda tahun 1920 untuk studi hukum di Leiden. Seharusnya dia kenal dengan Van Vollenhoven,” kata Adriaan sambil tertawa.

Disertasi hasil penelitian selama delapan tahun ia pertahankan tahun 2000 di Universiteit Leiden. Sejak saat itu sejumlah penelitian dan publikasi ilmiah tentang hukum Indonesia mewarnai karier Adriaan sebagai ilmuwan hukum. Kini ia juga menjabat Head of Department of the Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Society (Leiden Law School, Leiden University).

Ia mengaku bahwa secara rutin mengamati perkembangan hukum di Indonesia. Terutama tentang dinamika hukum di masyarakat. Salah satu sumber penting yang disebutnya adalah hukumonline. “Informasi perkembangan hukum dan wawancara yang ada di hukumonline itu bagus sekali, saya suka, sangat penting itu, sangat membantu untuk memperbaiki hukum Indonesia,” katanya.

Tags:

Berita Terkait