Kiat 'Be Crazy' Bagi In-House Lawyer untuk Menciptakan Inovasi
Kolom

Kiat 'Be Crazy' Bagi In-House Lawyer untuk Menciptakan Inovasi

Inovasinya cukup berdampak karena menerapkan imagination, problem solving, persuasion, set ambitious goals, entrepreneurship, dan risk taking. Tapi, tentunya tanpa pernah kompromi dengan integritas dan compliance.

Bacaan 4 Menit
Reza P. Topobroto. Foto: Istimewa
Reza P. Topobroto. Foto: Istimewa

Di zaman yang penuh dengan disrupsi, inovasi seperti menjadi syarat mutlak performansi dan untuk bisa stay relevant. Bagi saya inovasi tidak selalu identik dengan teknologi, tapi juga bisa dalam hal proses kerja, strategi mencapai tujuan bisnis, serta proses kolaborasi yang berbeda dengan cara sebelumnya.

Sekitar tahun 2013-2014, saat saya masih bekerja sebagai in-house counsel di perusahaan teknologi global, sedang gencar menggolkan deal penggunaan platform teknologi untuk customer yang merupakan grup konglomerasi. Keterlibatan saya pertama kali dalam deal ini adalah menjelaskan isi kontrak kami, yang kebetulan cukup complicated, kepada divisi pengadaan dari customer.

Baca Juga:

Atasan saya yang merupakan regional legal lead di Singapura menekankan pentingnya effort agar memberikan dampak membuat project ini bisa closing dengan big win. Saya sangat setuju, karena in-house legal bukan lagi fire fighters, tapi trusted advisor. Artinya, perusahaan kami semua orang harus berusaha memberi kontribusi agar target revenue tercapai sesuai role masing-masing. Sudah merupakan keyakinan bahwa hanya ada dua fungsi utama di perusahaan, sales people dan mereka yang mendukung sales. Saya pun memutar otak.

Pertama-tama yang dilakukan, ketika mengetahui penjelasan kepada divisi pengadaan customer tidak membuahkan banyak hasil, meminta tim sales membuatkan saya appointment dengan tim Legal Corporate dari customer. Saya paham legal issue yang diangkat customer adalah ketentuan hukum yang saat itu masih belum tertata baik di sektor ini masih dipandang sebagai blocker untuk adopsi teknologi. Saya pun mempersiapkan tabel analisa hukum atas ketentuan. Kita bukan lagi bicara soal kontrak, tapi ketentuan hukum.

Karena customer ini adalah big enterprise, seperti yang saya duga terjadi eskalasi berjenjang. Dari legal manager, diskusi berlanjut kepada legal head, hingga akhirnya mereka berjanji meminta arahan kepada General Counsel (GC). Disinilah terdeteksi potensi bottle neck karena terinfo bahwa di level tersebut sangat mengandalkan saran dari law firm. Langsung saya bergerilya dengan dukungan tim sales mencari tahu nama law firm tersebut.

Ternyata, partner di law firm tersebut adalah teman baik saya. Action berikutnya saya mengajak sang partner tersebut untuk makan siang dengan agenda get together, bukan kerjaan. Kita bertemu dan dengan sabar tanpa menyinggung pekerjaan mengarahkan pembicaraan nostalgia kepada platform teknologi kami tersebut. Harapan saya bisa membuka wawasan darinya bahwa sebetulnya platform ini tidak berbahaya bagi bisnis dan risikonya dapat di-manage.

Tags:

Berita Terkait