Khawatir Pemilu Cacat Hukum, KPU Akhirnya Minta Payung Hukum
Utama

Khawatir Pemilu Cacat Hukum, KPU Akhirnya Minta Payung Hukum

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengakui tidak bisa memenuhi amanat yang digariskan UU No. 12/2003 tentang Pemilu khususnya soal logistik. Agar Pemilu tidak cacat hukum, KPU meminta pemerintah menerbitkan payung hukum untuk itu.

Zae
Bacaan 2 Menit

Karena itu, KPU meminta kepada pemerintah untuk membuat payung hukum agar Pemilu tidak dinilai cacat hukum. "Kita perkirakan selesai 26 Maret, tapi KPU sudah lampaui itu. Ini perlu diberikan katakanlah suatu payung hukum sehingga orang tidak mengatakan bahwa Pemilu kita ini tidak cacat hukum," ujar Nazaruddin.

Permintaan Nazaruddin ini sekaligus menjawab desakan sebagian pihak agar KPU segera meminta payung hukum kepada pemerintah sekiranya KPU tidak bisa memenuhi UU Pemilu soal logistik. Panwas Pemilu juga termasuk diantara pihak yang mendesak agar KPU melakukan hal tersebut.

Keppres, SK KPU, atau Perpu?

Sayangnya, pada kesempatan tersebut Nazaruddin tidak menjelaskan lebih lanjut payung hukum seperti apa yang dikehendaki oleh KPU. Pasalnya, wacana berkembang menunjukkan adanya tiga alternatif bagi persoalan logistik dan pelaksanaan Pemilu lanjutan seandainya 'pesta demokrasi' itu tak bisa dilakukan secara serentak.

Alternatif pertama adalah melalui Keputusan Presiden. Untuk alternatif ini, pihak KPU menolaknya dengan alasan Keppres itu merupakan bentuk campur tangan pemerintah pada pelaksanaan Pemilu. Dengan alasan bahwa penyelenggaraan Pemilu adalah kewenangan dari KPU, sejak awal KPU lebih memilih alternatif ke dua dalam bentuk SK KPU sebagai payung hukumnya.

Namun demikian, pihak Panwas mengusulkan payung hukum tersebut adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). "Level Perpu setingkat dengan undang-undang. Lagi pula yang harus direvisi hanya satu pasal, yaitu memasukan alasan logistik pada pasal mengenai alasan pelaksanaan Pemilu lanjutan dalam UU Pemilu," tegas anggota Panwas Topo Santoso.

Pakar ilmu perundang-undangan, Maria Farida, saat dimintai pendapatnya mengatakan bahwa ada kekurangan dan kelebihan, bila Perpu dijadikan payung hukum seputar kemungkinan penundaan pelaksanaan Pemilu. Misalnya, akan berbahaya jika DPR ternyata nanti tidak menyetujui Perpu tersebut. Namun demikian, ia berpendapat untuk merevisi ketentuan dalam undang-undang memang idealnya melalui Perpu, karena tidak cukup dengan diterbitkannya SK oleh KPU.

Berdasarkan pantauan hukumonline, pada proses ini sepertinya KPU akan memilih Perpu sebagai payung hukum. Indikasinya adalah adanya pertemuan antara KPU dan  presiden (29/03). Presiden berwenang mengeluarkan Keppres dan Perpu, dan KPU sudah menyatakan tak akan menerima Kepres.

Halaman Selanjutnya:
Tags: